Alasan Pemilihan Karya Sastra sebagai Bahan Pembelajaran BIPA Bermuatan Budaya

Alasan Pemilihan Karya Sastra sebagai Bahan Pembelajaran BIPA Bermuatan Budaya
Littlewood (1987: 178-183), dalam artikelnya “Literature in the School Foreign-Language Course memberikan beberapa hal penting berkaitan dengan pemilihan karya sastra sebagai bahan pembelajaran bahasa asing. Karya sastra, dalam level yang paling sederhana, tidak berbeda secara kualitas dengan bentuk-bentuk linguistik lainnya. Karya sastra merupakan bentuk instan dari penggunaan produktif sejumlah struktur linguistik agar tercapainya komunikasi berbahasa. Selain itu, karya sastra menawarkan “banyak hal” berkaitan dengan proses berbahasa, seperti kutipan ini: Apart from “literary style” which differ more or less acutely (according to period, genre, and so on) from the styles of everyday usage, literature can draw on all available styles, from the most elevated to the most informal, in order to gain its effects or give its representation of life.(hal. 178).

Lebih lanjut, Littlewood mengajukan lima perspektif berkaitan dengan sastra dan pembelajaran bahasa:
a Pada perspektif paling awal, karya sastra meyediakan pemakaian struktur kebahasaan. Hal ini sangat berkaitan dengan peningkatan keterampilan berbahasa khususnya membaca pemahaman yang disertai dengan berbagai analisis gramatikal dan penjelasannya.

b Pada perspektif kedua, karya sastra menyajikan bentuk stilistik yang berbeda dari bentuk bahasa lainnya. Pada tahap ini karya sastra digunakan sebagai sarana pembelajaran berbagai bentuk ragam bahasa yang berbeda. Sebagai contoh, karya sastra menyediakan ragam formal, informal, ragam percakapan, dialog dan ragam naratif dalam teksnya.

c Perspektif ketiga menempatkan karya sastra sebagai objek yang dikaji dari segi babakan, situasi yang diciptakan, dan karakter yang diciptakan pengarang dalam karya sastra itu sendiri. Dalam perspektif ini, pembelajar dihadapkan pada ‘dunia’ kreasi yang diciptakan pengarang. Bertolak dari dunia kreasi itu, pembelajar akan diperkaya dengan berbagai bentuk pemahaman atas konteks kebahasaan, sekaligus dapat membandingkannya dengan kehidupan dunia nyata, termasuk di dalamnya pemakaian bahasanya.

d Perspektif keempat ini dapat ditangkap dan dinikmati oleh pembelajar apabila dalam tingkat tertentu pembelajar sudah dapat memahami ketiga perspektif sebelumnya. Hal ini disebabkan karena dalam perspektif ini pembelajar dituntun ke pemahaman atas visi dan misi pengarang lewat berbagai ekspresi kebahasaan yang dipakai dalam karya sastra. Dalam tataran ini pula diskusi dalam bahasa target dapat diperdalam untuk mengetahui ide-ide dan logika bernalar yang dimiliki oleh pembelajar. 

e Perspektif kelima menekankan pada pengetahuan di luar kebahasaan yang sekiranya dapat membantu pemahaman pembelajar melalui deskripsi latar belakang historis dan sosial budaya karya sastra yang digunakan sebagai bahan pembelajaran. Pada perspektif ini mahasiswa digiring pada suatu pengenalan dan pemahaman budaya yang menjadi latar sosial atau tema karya sastra yang dibahas.

Kelima perspektif di atas, menurut saya, menyiratkan suatu proses penahapan dari tataran surface linguistik ke bentuk-bentuk stilistik bahasa yang kemudian dipertajam dengan pemahaman yang lebih dalam dengan penggalian aspek-aspek di ”bawah” unsur gramatikal serta diperkaya dengan berbagai pengetahuan di luar bahasa berupa unsur budaya. Dengan tahap-tahap ini, pembelajar akan mendapatkan keterpaduan keterampilan berbahasa sekaligus aspek kebahasaan dan budaya sekaligus.

Lazar (1993: 15-20) mengajukan beberapa alasan penggunaan karya sastra dalam pembelajaran bahasa asing/kedua. Lazar menyatakan bahwa karya sastra merupakan materi pembelajaran yang menimbulkan motivasi pembelajar. Hal ini didorong oleh karakter karya sastra itu sendiri yang menawarkan tema-tema yang kompleks dan segar kepada pembelajar. Sebuah novel atau cerita pendek yang bagus akan melibatkan pembelajar dalam tegangan plot yang dirangkai sedemikian rupa menarik minat. Motivasi ini dapat ditimbulkan karena adanya unsur seni yang menyertai teks-teks sastra tersebut. Motivasi yang dimiliki oleh pembelajar akan semakin mendorong mereka untuk bergiat dalam belajar bahasa.

Lebih lanjut, dia menyatakan bahwa karya sastra menyediakan akses ke budaya masyarakat yang bahasanya dipelajari oleh pembelajar. Hal ini dapat diperoleh dari karya sastra yang bertemakan budaya atau yang mengekpos permasalahan budaya dalam cakupan yang luas. Perlu diingat bahwa karya sastra sendiri mempunyai tugas menggambarkan kehidupan berbudaya masyarakatnya sehingga apabila materi ini digunakan, seakan pembelajar membuka sebuah ensiklopedia budaya yang terekspresikan secara estetis bermediakan bahasa verbal. 

Selain itu, karya sastra mendorong pemerolehan bahasa dan mengembangkan kemampuan interpretasi pembelajar. Ini sangat dimungkinkan karena karya sastra menghadirkan konteks yang bermakna dan mudah diingat dalam pemrosesan dan interpretasi bahasa yang baru dipelajari. Berkaitan dengan interpretasi, karya sastra merupakan sumber yang bagus untuk mengembangkan kemampuan pembelajar untuk mendalami makna dan membuat interpretasi . Proses ini dapat dijalani oleh pembelajar karena teks-teks sastra diperkaya dengan lapis-lapis makna dan menuntut pembaca untuk aktif terlibat dalam menggali implikasi yang tidak terekspresikan dalam tataran gramatikalnya. Ini juga dapat dimanfaatkan untuk mengetahui ketajaman analisis dan kepekaan menangkap simbol dan metafor-metafor yang ada dalam teks sastra.

Menurut saya, Lazar mencoba menggabungkan potensi kebahasaan yang terkandung dalam karya sastra dengan potensi makna yang harus diinterpretasi pembelajar yang berujung pada tercapainya pemahaman atas struktur gramatikal dengan berbagai aspeknya dan tercapainya pemahaman nilai-nilai budaya dan kehidupan lewat kepekaan interpretasi yang terkespresikan melalui tindakan bahasa sebagai wujud meningkatnya berbagai keterampilan berbahasa.

Berbeda dengan Lazar yang menekankan diri pada aspek bahasa dan makna karya sastra, Valdes (1986: 137-147) membahas secara khusus mengenai budaya dalam karya sastra. Pokok pemikirannya berkaitan dengan alasan dipilihnya karya sastra sebagai media ekplorasi budaya dibandingkan dengan teks bacaan lain diilhami oleh Povey (1968:188) sebagai berikut:

It is simply accepted as a given that literature is to serve as a medium to transmit the culture of the people who speak the language in which it is written. Perhaps it would not to amiss, however, to include a warning against teaching literature solely as a means of presenting cultural slices of live. 

Dari kutipan itu, kita dapat melihat bahwa budaya yang melingkupi suatu masyarakat di mana suatu bahasa dituturkan dapat dihadirkan melalui karya sastra. Di sini, karya sastra dapat berfungsi sebagai media transfer budaya yang menghadirkan sisi-sisi budaya kehidupan. Bertolak dari sudut inilah, pembelajar diperkenalkan dengan aspek-aspek budaya yang lebih luas yang terkandung dalam karya sastra dan nantinya mereka temukan dalam kehidupan nyata. Paling tidak, mereka dapat menemukan berbagai hal yang berkaitan dengan aspek budaya tertentu dari berbagai sudut pandang dan mengambil sikap tertentu atas aspek tersebut. Hal ini dipertegas dalam kutipan berikut ini:

An understanding of literature depends upon discernment of the values inherent, but not necessarily specifically expressed, in the work. the value of any cultural group, even if the author’s own values differ from those of the group to which he or she belongs, underlie plots and become the theme in virtually all works of literature (Valdes, 1986:138)

“Penemuan” nilai-nilai budaya tersebut akan diharapkan memunculkan respon dari pembelajar; Mengapa aspek budaya ini muncul? Apa sisi positif dan negatif budaya itu terhadap masyarakat? Bagaimana orang-orang menyikapi aspek tersebut? Bagaimana kami (pembelajar) harus menyikapi aspek budaya itu? Bagaimana latar belakang historis aspek budaya tersebut? Apabila respon-respon ini (dan tentu saja respon -respon yang lain) muncul, proses selanjutnya adalah ekpresi dalam berbagi bentuk keterampilan berbahasa. Berkaitan dengan munculnya respon budaya dari pembelajaran sastra ini, Long dalam esainya berjudul “ A feeling for Language: The multiple values of teaching literature” yang terkumpul dalam Brumfit dan Carter (1987:42-59) menyatakan bahwa respon dari pembelajar asing merupakan hal penting dalam pembelajaran bahasa asing dan atau kedua yang bermediakan karya sastra. Respon tersebut dibangun dari proses interpretasi atas keluasan cakupan kata yang dipakai dalam karya sastra sebagaimana terpapar dalam kutipan ini: The teaching of literature is an arid business unless there is a respon, and even negative responses can create an interesting classroom situation (as then the learner has to say why he or she dislike the texts). The teaching of literature to non native speakers should seek to develop responses.

Alasan lain yang mendukung pemakaian karya sastra dalam pembelajaran bahasa asing dikemukakan oleh McKay dalam esainya “Literature in the ESL Classroom”. Dalam esainya McKay berpendapat bahwa karya sastra dapat menyediakan keluasan pemakaian bahasa .... Most present-day literature texts assume that literature can provide a basic for extending language usage. Many of these focus on the particular grammatical points that are salient in the texts. Furthermore, vocabulary expansion is dealt with attention to word forms and common expression.

Hal ini diilhami oleh pendapat Povey (1972: 187) sebagai berikut:“.......literature will increase all language skills because literature will extend linguistic knowledge by giving evidence of extensive and subtle vocabulary usage, and complex and exact syntax”.

Berhubungan dengan aspek budaya McKay menyatakan bahwa karya sastra merupakan bentuk yang memungkinkan adanya toleransi yang lebih besar dalam perbedaan budaya antara guru dan pembelajar. Selain itu karya sastra juga dapat menjembatani berbagai masalah budaya yang dihadapi oleh pembelajar dengan merangsang kreativitas pembelajar dalam sikap hidup mereka. 

Jadi, uraian McKay di atas dapat diambil intisari bahwa dengan karya sastra diperoleh tiga manfaat yaitu (1) mengembangkan pengetahuan linguistik baik dalam usage level atau pun use level, (2) meningkatkan kemampuan membaca sebagai implikasi dari penikmatan karya sastra, dan (3) meningkatkan pemahaman budaya target.

No comments:

Post a Comment