Ada
tujuh bersaudara perempuan (demia) dari kahyangan. Pada suatu hari, mereka
mandi di bumi manusia. Tanpa demia-demia ini sadari, ada seorang demamang
(laki-laki) yang mengawasi mereka mandi. Demia-demia ini sering turun ke bumi
untuk mandi. Pada suatu hari, ketika para demia ini sedang asyik mandi,
demamang itu mengambil baju salah satu demia itu dan menyimpannya. Ketika para demia
ini sudah selesai mandi, demia bungsu terkejut karena bajunya tidak ada.
Padahal, hanya dengan memakai baju itulah ia bisa kembali pulang ke kahyangan.
Sementara demia yang lain sudah bisa pulang ke kahyangan, si bungsu yang
kehilangan baju itu berjalan kesana-kemari. Sampai ia berjumpa dengan demamang
yang mengambil bajunya. Demamang bertanya kepada demia bungsu “Oh demia, mau
kemanakah kau?”. Demia menjawab “saya mau pulang ke kahyangan, tetapi tidak
bisa karena baju saya hilang. Sekarang saya bingung mau kemana”. Mendengar
jawaban demia, demamang melarang demia itu pergi ke mana-mana dan mengajaknya
pulang ke rumah demamang. Demia yang tidak punya tujuan mau mengikuti demamang
pulang.
Setelah sekian lama tinggal di rumah
demamang, demamang semakin jatuh cinta dengan demia bungsu. Demamang mengajak
demia itu kawin. Demia bersedia, dan kawinlah mereka.
Pada
suatu musim, demia teringat bahwa saat itu di kahyangan sedang musim buah.
Demia yang sudah menemukan bajunya mengajak demamang naik ke kahyangan untuk
memakan buah. Demamang belum pernah tahu apa yang namanya buah. Akhirnya mereka
naik dengan memakai pakaian demia. Ketika mereka datang, tepat hitungan demia
bahwa waktu itu di kahyangan sedang musim buah. Mereka makan segala macam buah
sampai puas, terutama durian. Setelah mereka puas, demia dan demamang
berpamitan pulang kepada orang tua demia. Orang atas (orang kahyangan)
mengijinkan demia dan demamang itu pulang tetapi mengingatkan bahwa mereka
tidak boleh membawa bibit buah-buahan itu ke bawah. Tiga kali mereka di larang.
Tetapi karena demamang dan demia ingin sekali bisa memakan buah-buahan itu di
bumi, maka mereka mencuri bibit buah-buahan itu dengan cara menyembunyikannya
di selangkangan demia.
Sampai di bawah, mereka menghamburkan
bibit buah itu ke tanah. Setelah sekian lama, tumbuhlah bunga-bunga buah itu.
Mereka terus memelihara bunga buah itu sampai berbuah. Ketika berbuah, mereka
memakan buah-buahan itu bersama para tetangganya. Senanglah orang bawah memakan
buah-buahan yang belum pernah mereka makan sebelumnya. Tetapi ternyata, tanpa
mereka tahu sebelumnya, setelah mereka makan buah muncullah penyakit semparan
(penyakit yang mewabah) yang melanda kampung tempat demia dan demamang itu
tinggal. Manusia di bawah sakit perut, sakit kepala, sakit perut, dan banyak
penyakit mewabah lainnya.
Di kahyangan sudah mulai musim buah dan banyak
sekali buah durian. Rupanya orang di atas bertanya-tanya kenapa demia bungsu
tidak naik ke atas untuk makan buah durian. Sampai pada suatu hari akhirnya
demia naik ke atas, ia ditanya oleh orang atas kenapa mereka lama sekali tidak
naik ke kahyangan. Demia menceritakan bahwa ia sedang mengalami semparan. Orang
tuanya di kahyangan mengatakan bahwa penyakit yang ada di bawah itu berasal
dari buah durian yang mereka tanam tanpa syarat. Orang tua demia mengatakan
bahwa jika musim buah akan tiba (banyak bunga), buah itu harus dialu (disambut) dan ketika buah sudah
akan habis buah itu harus dipulang dengan cara yang disebut mulang buah. Demia mengerti syaratnya
dan turun ke bawah kembali.
Pada musim buah berikutnya, demia mencari ayam,
mengambil dua orang di pokok buah (durian) untuk bercerita ‘demamang lamung
langit’. Demia mengerti bahwa jika tidak dialu
akan ada penyakit yang melanda kampungnya. Jika sudah dialu berarti sudah ada suluk selana (perjanjian) dengan buah
itu. Muncullah cerita demamang lamung langit, cerita burung cengkakok, demamang
borok, demamang arau, dan banyak cerita lain yang diceritakan pada saat ngalu buah. Binatang penyengat pun tidak
muncul, buah-buahan tumbuh, penyakit semparan pun hilang.
Selesai musim buah, dipulangnya buah itu. Demia
membuat lanting (pondok kecil dari
kayu). Ia kembali mengudang orang untuk bercerita lagi (ceritanya sama dengan ngalu buah). Umpan-umpan (tidak berani
disebutkan) itu diletakkan di atas lanting dan dihanyut ke sungai. Penyakit
semparan pun hilang. (Dio Sarman, 05 Juli 2011)
***cerita inilah yang menjadi awal diadakannya
upacara ngalu buah ketika bunga buah
sudah mulei banyak berkembang, dan mulang
buah ketika musim buah sudah aka habis. Upacara ini bertujuan untuk
menghindari penyakit mewabah yang disebut semparan.
No comments:
Post a Comment