Akses UKM ke Jasa Kredit Perbankan

Akses UKM ke Jasa Kredit Perbankan : Dalam memberikan pembiayaan kepada sektor UKM, Bank tetap harus melakukan langkah-langkah “prudential banking” serta melakukan manajemen risiko sebagaimana yang telah digariskan dalam Standard Operasional dan Prosedur (SOP).Bank akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Prinsip Kehati-hatian
Dalam melakukan prinsip kehati-hatian, bank harus memperhatikan:
a. Prinsip utama dalam mengelola risiko kredit adalah:
  • Pemisahan pejabat kredit
  • Penerapan Risk Scoring System.
  • Pemisahan pengelolaan kredit bermasalah.

b. Prosedur Perkreditan yang sehat.
Bank harus melakukan prosedur yang sehat, dengan melakukan:
  • Penetapan Pasar Sasaran.
  • Kriteria Risiko yang dapat diterima.
  • Pengawasan ekspansi kredit.

c. Jenis usaha yang dilarang atau dihindari untuk dibiayai

2. Dalam Kebijakan umum Perkreditan, diatur bahwa setiap proses dan keputusan kredit harus melalui langkah-langkah yang baku, sebagai berikut:
a. Ada permohonan kredit dari debitur secara tertulis,
b. Dilengkapi dokumen yang dipersyaratkan,
c. Disertai proposal kredit,
d. Dibuat rekomendasi dan keputusan kredit oleh pejabat yang berwenang,
e. Pemberitahuan keputusan kredit (offering letter),
f. Melaksanakan perjanjian kredit secara hukum,
g. Proses pencairan kredit, h. Melaksanakan pengawasan dan evaluasi.

3. Pre screening dan seleksi calon debitur UKM. Permohonan kredit dapat diproses apabila telah lolos pre screening, yaitu;
a. Memenuhi Pasar Sasaran.
b. Tidak termasuk jenis usaha yang dilarang.
c. Tidak termasuk dalam jenis usaha yang perlu dihindari .
d. Tidak termasuk dalam Daftar Hitam BI.
e. Tidak termasuk dalam Daftar Kredit Macet BI. Universitas Sumatera Utara
f. Tidak termasuk dalam Daftar Hitam Intern Bank.

4. Bank juga melakukan penilaian rating atas kesehatan debitur, melalui Credit Risk Rating (CRR).
Credit Risk Rating ini merupakan alat penilaian standar: untuk penilaian risiko kredit secara individual, menetapkan langkah-langkah penanganan yang diperlukan sejak dini, menetapkan standar ukuran risiko yang dapat diterima Bank, memperkirakan kemungkinan tingkat kegagalan pengembalian kredit.

5. Apabila telah melalui proses penilaian rating dan nilainya memenuhi standar yang ditetapkan, maka akan disusun proposal analisis kredit, sebagai bahan pertimbangan apakah usaha yang dibiayai layak atau tidak untuk diberikan kredit. Proposal analisis kredit bukan laporan deskriptif, tetapi merupakan hasil analisis yang menyimpulkan tingkat risiko calon debitur (layak atau tidak), sekaligus rekomendasi serta mitigasi risiko (yang akan dituangkan dalam bentuk loan structure, covenant, insurance dan collateral). Prinsip penyusunan laporan analisis kredit, harus memenuhi unsur: Obyektif, komunikatif (siapapun yang membaca mempunyai persepsi yang sama), memuat informasi pokok yang dibutuhkan pemutus kredit, dan simpel.

6. Bank tetap harus memantau jalannya usaha debitur, serta menerapkan early warning system (EWS). Early Warning System adalah mekanisme/sistim deteksi/pengenalan terhadap gejala/tanda-tanda awal yang diperkirakan dapat mempengaruhi/ menyebabkan kemungkinan terjadinya kegagalan debitur dalam memenuhi kewajibannya. Tujuan EWS adalah memberikan tanda/peringatan dini atas kondisi debitur yang diperkirakan akan berdampak negatif terhadap kelancaran pemenuhan kewajiban atas kredit yang telah diberikan. Sasaran EWS adalah:
  1. Mengindentifikasi dan mendeteksi debitur-debitur yang diperkirakan akan berpotensi gagal dalam memenuhi kewajibannya.
  2. Mendukung proses monitoring portofolio pinjaman secara keseluruhan.
  3. Mengindetifikasi langkah-langkah perbaikan dan penetapan rencana tindak lanjut yang efektif.

7. Bank juga harus melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap kredit yang telah diberikan. Prinsip pembinaan dan pengawasan adalah:
  1. Setiap tahapan proses pemberian kredit harus didasarkan atas azas-azas perkreditan yang sehat.
  2. Setiap pemberian kredit harus mengandung unsur pengawasan ganda dan pengawasan melekat secara berkesinambungan.
  3. Setiap pemberian kredit harus dipantau perkembangan usaha debitur yang bersangkutan, agar kredit mencapai sasaran dan mencegah kemungkinan penurunan kualitas kredit.
  4. Setiap perkembangan kredit tidak hanya diawasi oleh pejabat kredit saja, tetapi juga oleh unit kerja yang dibentuk melalui fungsi pengawasan, yaitu audit internal.

8. Selain melakukan pembinaan dan pengawasan, Bank juga harus merapikan dokumentasi kredit, agar sewaktu-waktu dapat dimonitor. Dokumentasi kredit ini menjadi bagian tak terpisahkan dari paket kredit, merupakan salah satu aspek penting yang dapat menjamin pengembalian kredit, serta dokumentasi kredit wajib dilaksanakan dengan baik, tertib dan lengkap.

Pada akhirnya, dengan kebijakan dan sistem yang baik, akan diperoleh tingkat kesehatan bank. Di satu sisi, setiap pejabat/staf dari bank yang berperan menganalisis suatu usaha debitur telah mempunyai perangkat yang dapat digunakan, sehingga manajemen risiko, serta early warning system dapat dijalankan dengan baik. Dan yang paling utama, jika semua prosedur standar telah dipenuhi, maka budaya kredit (credit culture) yang sehat akan berperan aktif dalam membuat bank dapat berperan serta dalam menumbuhkan perekonomian untuk debitur UKM.

Penyaluran kredit oleh Bank terhadap UKM
Pada kenyataannya penyaluran kredit pada UKM masih kecil dibandingkan dengan usaha besar. Pemecahan masalah tersebut secara makro seperti kebijakan pemerintah mewajibkan Bank Umum untuk menyalurkan 20 % kredit kepada UKM dari total kreditnya,KUT, program program promosi akses kredit UKM kepada lembaga keuangan dan lain-lainnya ternyata hasilnya masih jauh dari memuaskan. Hal ini disebabkan selain karena ketidak mampuan UKM mengakses bank juga disebabkan oleh :
  1. Officer Bank kekurangan pengetahuan atau pengalaman, sehingga bank kesulitan menilai prospek bisnis UKM, sehingga untuk meminimalisasi resiko perlu menetapkan persyaratan jaminan yang ketat. Skema kredit UKM kurang bervariasi mengikuti variasi karakteristik usaha UKM yang spesifik.
  2. Pada UKM yang mengajukan kredit, Officer Bank masih kesulitan untuk menemukan yang prospektif untuk dibiayai

Untuk mendorong penyelesaian masalah ditingkat mikro tersebut semestinya menjadi perioritas dalam mempromosikan akses kredit UKM pada lembaga keuangan. secara teknis bank harus punya target pasar spesifik untuk UKM sebagaimana juga bank memiliki target pasar spesifik untuk usaha besar, tetapi menetapkan target pasar untuk UKM ternyata lebih rumit dari pada menetapkan target pasar kredit usaha besar, hal ini disebabkan :
  1. Tidak tersedianya data sekunder yang memadai tentang UKM, data yang tersedia pada dinas teknis dan BPS sangat tidak memadai sebagai pertimbangan dalam merumuskan target pasar kredit UKM.
  2. Faktor lokalitas pada tingkat Kabupaten/propinsi bahkan pada tingkat wilayah yang lebih kecil sangat mempengaruhi potensi pengembangan UKM, dengan demikian data Nasional akan sangat bisa jika digunakan dalam memilih sektor UKM.
  3. Pengelompokkan UKM selama ini berdasarkan sub sektor telah menjadi pola analisis, padahal pengelompokkan tersebut pada dasarnya untuk kepentingan administrasi (Pemerintah & BI) bukan kepentingan analisis bisnis, Analisis yang paling rasional adalah berdasarkan rantai bisnis dan wilayah (wilayah yang dibatasi oleh keterkaitan pelaku bukan wilayah administrasi)

Karena sebagian besar UKM tidak memiliki dokumen usaha dan data tentang UKM sangat sedikit maka untuk bisa menyalurkan kredit kepada UKM, bank perlu mengenal dengan baik karakteristik dan pola bisnis UKM, perlu cara lain dalam analisis pasar dan potensi sektor agar penyaluran kredit pada UKM tetap dengan pendekatan koridor biasa.

Syarat UKM mendapat kucuran dana dari Bank
Para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) harus memenuhi tiga persyaratan agar usahanya dinilai visible dan bankable bagi perbankan. Sehingga perbankan bersedia untuk mengucurkan kredit. "Tiga syarat itu adalah dokumentasi usaha yang jelas, track record yang positif, dan bisnis atau cashflow yang positif," Seandainya aset usaha UKM tersebut tergolong besar tapi cashflownya negatif, perbankan tetap enggan mengucurkan kreditnya. dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM akan bekerjasama membuat pelatihan bagi para pelaku UKM, agar bisa bankable sehingga bisa memperoleh pinjaman dari perbankan untuk mengembangkan usaha.

Pada saat ini pemerintah masih terus berusaha untuk merealisasikan UU tentang penjaminan kredit kepada para pelaku UKM. Sehingga nantinya Bank Indonesia (BI) mempunyai payung hukum untuk melonggarkan aturannya bagi perbankan dalam menyalurkan kredit ke sektor UKM. , agar para pelaku UKM  tidak terbebani masalah jaminan pinjaman kepada perbankan. Pada saat ini bahkan ada pelaku UKM yang memberikan jaminan lebih besar kepada perbankan dibandingkan jumlah pinjamannya.

Permasalahan yang dihadapi UKM dalam mendapatkan kredit dari perbankan
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) saat ini tengah menghadapi fenomena paradoks. Disatu sisi UKM terlihat sangat strategis karena merupakan pilar pendukung utama dan terdepan dalam pembangunan ekonomi. UKM merupakan lapangan usaha yang paling banyak dan paling mudah diakses oleh masyarakat bawah di Indonesia. UKM paling besar dan paling cepat dalam memberikan peluang lapangan pekerjaan dan memberikan sumber penghasilan bagi kebanyakan masyarakat kita. UKM paling fleksibel dan dapat dengan mudah beradaptasi dengan pasang surut dan arah perekonomian dan UKM juga cukup terdiversifikasi dan memberikan kontribusi penting dalam ekspor dan perdagangan. Betapa luar biasanya peran UKM di Indonesia kita ini. Namun disisi lain kita juga banyak menemukan persoalan pelik ditubuh UKM.

Kelembagaan UKM di Indonesia lemah. Hal ini disebabkan karena secara ekonomi politik, keberadaannya tidak diperhitungkan terutama pada masa rezim Soeharto berdiri kokoh. Dominasi keberpihakan rezim Soeharto kepada pelaku ekonomi besar telah menyebabkan UKM di Indonesia lemah secara kelembagaan. Sehingga UKM kita menjadi lambat mandiri, lambat mengembangkan diri dan menjadi lemah dalam hal akses. sudah menjadi rahasia umum UKM di Indonesia,  bahwa dari dahulu permasalahan klasik yang selalu mendera UKM antara lain adalah permasalahan;

1. Rumitnya proses perizinan dan penyederhanaan pencatatan usaha.
Perizinan usaha di Indonesia sangat berbelit dan memakan waktu yang sangat lama jika dibandingkan dengan negara-negara lain padahal untuk UKM izin usaha adalah modal paling dasar jika mau berkembang dan mendapat akses dengan baik terutama sekali akses permodalan. Menurut Bank Dunia (2005), dibutuhkan rata-rata sekitar 151 hari serta 12 prosedur untuk mendapatkan izin usaha. Padahal kemudahan perizinan ini akan menciptakan tambahan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.25 %PDB.

2. Sulitnya akses penambahan modal melalui kredit bank.
Kebanyak UKM tidak berhasil mendapatkan kredit dari bank karena UKM tidak memenuhi persyaratan untuk layak diberi kredit. Hal ini antara lain karena UKM belum memiliki pengetahuan dan kesiapan dalam memenuhi persyaratan kredit sehingga para pelaku UKM memandang prosedur kredit sulit. Sulaeman di Indonesia alasan utama yang dikemukakan oleh UKM kenapa UKM tidak meminjam ke bank adalah: (1) prosedur sulit (30,30 %), (2) Tidak berminat (25,34 %), (3) Tidak punya agunan (19,28 %), (4) Tidak tahu prosedur (14,33 %), (5) Suku bunga tinggi (8,82 %), dan (6) Proposal ditolak (1,93 %) (Sulaeman, 2004)

3. Lemahnya kemampuan UKM dalam hal manajemen.Permasalahan sebagian besar UKM di Indonesia adalah lemahnya kemampuan manajemen. Karena sebagian besar pelaku UKM memiliki tingkat pendidikan SMU atau sederajat, maka penguasaan ini sangat lemah. Padahal ini merupakan kunci jika UKM mau menilai perkembangan dan ingin mendapat akses kredit modal usaha di perbanka

4. Lemahnya penguasaan terhadap networking atau jaringan kerja dan akses pasar.
Hal ini muncul akibat lemahnya kemampuan UKM mengorganisir diri dan lemahnya kemampuan pemasaran UKM, lemahnya penguasaan jaringan pasar, dan lemahnya penguasaan fasilitas teknologi dan informasi (IT) oleh UKM.

Mengatasi Hambatan Finansial UKM
Keberadaan usaha kecil dan menengah (UKM) memang tidak bisa dipungkiri menjadi salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Saat terjadi krisis ekonomi pada 1998, UKM terbukti menjadi usaha yang masih mampu bertahan dan memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat di tengah banyaknya usaha skala besar yang mengalami kebangkrutan. 

UKM memang memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Jika ditinjau dari aspek penyerapan tenaga kerja, berdasarkan data BPS, sampai akhir 2007 jumlah unit UKM mencapai 49,8 juta unit dan menyediakan lapangan kerja bagi 91,8 juta orang. Jumlah ini Universitas Sumatera Utara
diperkirakan akan terus bertambah. Lokasi UKM yang sebagian besar berada di daerah pedesaan juga akan berperan terhadap pengurangan jumlah kemiskinan, pemerataan distribusi pendapatan, dan pembangunan ekonomi di daerah pedesaan tersebut. Terkait signifikansi peran UKM tersebut,pemerintah sebenarnya telah memberikan perhatian terhadap pertumbuhan UKM ini. Walaupun demikian, UKM dalam perkembangannya masih seringkali menghadapi berbagai macam hambatan. UKM secara umum menghadapi dua permasalahan utama, yaitu masalah finansial dan masalah nonfinansial (Sri Adiningsih, 2003).

Masalah finansial umumnya berkaitan dengan keterbatasan UKM dalam memperoleh modal untuk mengembangkan usahanya, sedangkan masalah nonfinansial umumnya berkaitan dengan keterbatasan dari sisi kemampuan manajemen misalnya dalam produksi dan promosi produk. Terkait kendala finansial, di satu sisi sebenarnya sudah banyak pihak perbankan atau institusi lainnya yang menyediakan fasilitas peminjaman modal bagi UKM. Namun, di sisi lain masih banyak UKM yang tidak bisa mendapatkan akses terhadap modal tersebut.

Dalam memberikan kredit permodalan, lembaga keuangan tentu akan selektif untuk memilih debitor yang sekiranya tidak akan mengakibatkan kredit macet. Prosedur pencairan kredit perbankan, bunga pinjaman, dan kewajiban untuk memberikan agunan seringkali menyulitkan pihak UKM yang membutuhkan suntikan modal. Selain itu, mayoritas UKM juga tidak melakukan pengelolaan dan pencatatan keuangan dengan baik. Padahal pengelolaan keuangan misalnya berupa laporan keuangan bisa menjadi pertimbangan kreditor dalam menilai prospektivitas UKM, apakah layak untuk mendapatkan pinjaman permodalan atau tidak.Ketidakmampuan UKM memenuhi prosedur pencairan kredit tersebut membuat UKM menjadi tidak bankable (tidak layak untuk memperoleh pinjaman dari bank).

Di Indonesia sebenarnya sudah terdapat Standar Akuntansi Keuangan Usaha Kecil Menengah (SAK UKM) yang memang secara khusus dibuat dan diperuntukkan bagi UKM.SAK UKM tersebut dirumuskan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Keberadaan SAK UKM ini sejatinya bisa menjadi pedoman bagi UKM untuk pengelolaan dan pencatatan keuangannya, termasuk terkait pembuatan laporan keuangan yang baik. Namun, keberadaan standar ini masih belum populer di kalangan UKM.Perlu ada upaya promosi dan pelatihan yang komprehensif untuk meningkatkan kemampuan pengelolaan keuangan UKM sekaligus menghilangkan mindset bahwa pengelolaan keuangan merupakan sesuatu yang rumit dan tidak mudah dipelajari bagi kalangan UKM.

Jika memungkinkan, upaya ini selain melibatkan lembaga pemerintah terkait, IAI, kalangan akademisi juga sebaiknya melibatkan lembaga keuangan yang berperan sebagai kreditor bagi UKM. Dengan demikian, pentingnya pengelolaan keuangan akan ditekankan misalnya terkait pembuatan laporan keuangan UKM yang baik sehingga berguna bagi kemudahan akses kredit permodalan UKM. Dengan pelaksanaan SAK UKM yang baik, UKM akan mampu menyelesaikan berbagai permasalahan finansial yang selama ini ada.

No comments:

Post a Comment