Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

Akibat Hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang Diajukan Oleh PT Sebagai Debitor 

Akibat hukum adalah segala konsekuensi yang terjadi dari setiap perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum terhadap objek hukum ataupun akibat-akibat lain yang disebabkan oleh kejadian-kejadian tertentu yang oleh hukum yang bersangkutan sendiri telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum. Akibat hukum inilah yang selanjutnya merupakan sumber lahirnya hak dan kewajiban lebih lanjut bagi subjek-subjek hukum yang bersangkutan. Akibat hukum itu sendiri dapat lahir karena adanya suatu peristiwa hukum. 

Mengenai peristiwa hukum, Satjipto Rahardjo berpendapat dalam bahwa Peristiwa hukum adalah sesuatu yang bisa menggerakkan peraturan hukum sehingga ia secara efektif menunjukkan potensinya untuk mengatur. Dengan kata lain, peristiwa hukum merupakan peristiwa yang dapat menimbulkan akibat hukum.

PKPU itu sendiri tergolong ke dalam suatu peristiwa hukum, mengingat adanya PKPU akan memberikan akibat-akibat hukum terhadap pihak-pihak maupun hubungan-hubungan hukum sebagaimana ditentukan oleh Undang-undang Kepailitan. 

1. Akibat Hukum PKPU Terhadap Status Hukum Debitor 
Adanya PKPU memengaruhi status hukum Debitor, khususnya yang terkait tindakan yang dapat dilakukannya. PKPU menimbulkan akibat hukum atas status hukum dari seorang Debitor, yakni terhadap tindakan yang dilakukannya atas harta kekayannya. Pasal 240 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menentukan adanya batasan bagi seorang Debitor dalam PKPU untuk dapat melakukan tindakan atas harta yang dimilikinya. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut Debitor memerlukan adanya persetujuan dari Pengurus untuk melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya. Adanya PKPU terlihat bahwa status hukum Debitor sebagai pemilik harta kekayaanya tidak lagi mutlak. Sebagaimana yang kita tahu bahwa hak kebendaan atas suatu benda pada dasarnya memberikan kekuasaan langsung atas benda itu dan dapat dipertahankan terhadap tuntutan setiap orang. Hal berlakunya PKPU kekuasaan Debitor tersebut menjadi di-reduksi oleh ketentuan yang termuat dalam Undang-undang Kepailitan dan PKPU. Adapun konsekuensi apabila ternyata Debitor melanggar ketentuan sebagaimana disebut di atas adalah Pengurus berhak untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk memastikan bahwa harta Debitor tidak dirugikan karena tindakan Debitor tersebut. Di samping itu, ditentukan menurut Pasal 240 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU bahwa kewajiban Debitor yang dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan dari pengurus yang timbul setelah dimulainya PKPU, hanya dapat dibebankan kepada harta Debitor sejauh hal itu menguntungkan harta Debitor. 

Terhadap tindakan hukum yang dilakukan oleh Debitor dalam ranah hukum perjanjian, yang dalam Undang-undang Kepailitan pasal 240 ayat (4) ditentukan secara limitatif terhadap pengikatan perjanjian pinjaman dari pihak ketiga, Debitor hanya dapat melakukannya apabila terdapat persetujuan yang diberikan oleh pengurus. Hal tersebut pun hanya boleh dilakukan sepanjang guna meningkatkan nilai harta Debitor. Lebih lanjut ditentukan bahwa apabila diperlukan adanya agunan, pembebanan harta Debitor dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, hanya dapat dilakukan apabila pinjaman tersebut telah memperoleh persetujuan dari Hakim Pengawas (Pasal 240 ayat (5) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Adapun pembebanan atas harta Debitor tersebut, hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta Debitor yang memang belum dijadikan jaminan utang. Hal tersebut diatur dalam Pasal 240 ayat (6) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. 

Adanya PKPU tidak mempengaruhi status hukum Debitor di muka pengadilan. Dalam hal ini PKPU tidak dapat menghentikan perkara atas Debitor yang sudah mulai diperiksa serta tidak pula menghalangi pihak manapun untuk mengajukan gugatan terhadap Debitor atas suatu perkara baru. Hal tersebut diatur dalam Pasal 243 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Walaupun demikian, Pasal 243 ayat (2) menentukan bahwa dalam hal perkara yang sematamata mengenai tuntutan pembayaran suatu tagihan yang telah diakui oleh Debitor sendiri, akan tetapi Kreditor tidak mempunyai kepentingan untuk mendapat suatu putusan guna melaksanakan haknya terhadap pihak ketiga, maka setelah pengakuan Debitor tersebut dicatat, hakim dapat menangguhkan pengambilan keputusan mengenai hal itu sampai berakhirnya PKPU. Sisi lain, Debitor selama masa PKPU tidak boleh menjadi penggugat maupun tergugat dalam perkara mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta kekayaannya tanpa bantuan pihak Pengurus. Ketentuan tersebut tertuang dalam Pasal 243 ayat (3) Undang-undang Kepailitan, yang mana merupakan konsekuensi atas adanya ketentuan dalam Pasal 240 ayat (1) undang-undang tersebut yang menyatakan bahwa selama PKPU, Debitor tanpa persetujuan Pengurus tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya. 

2. Akibat Hukum PKPU Terhadap Status Sita dan Eksekusi Jaminan 
Adanya PKPU juga menimbulkan akibat hukum terhadap status sita dan eksekusi jaminan. PKPU mengakibatkan ditangguhkannya semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk memperoleh pelunasan utang (Pasal 242 ayat (1) Undang-Undang No 37 Tahun 2004). Dengan demikian maka, Debitor selama masa PKPU tidak dapat dipaksa untuk membayar utangnya, karena pada dasarnya memang pada periode ini Pengadilan Niaga memberikan kesempatan bagi Debitor untuk mengajukan rencana perdamaian sehingga kewajiban pembayaran utang pun ditunda. Keadaan ini berlangsung baik selama PKPU Sementara maupun selama PKPU Tetap.

Lebih lanjut diatur bahwa semua sita yang telah diletakkan gugur setelah diucapkan putusan PKPU Tetap atau setelah putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap, dan atas permintaan pengurus atau Hakim Pengawas, jika masih diperlukan, Pengadilan wajib mengangkat sita yang telah diletakkan atas benda yang termasuk harta Debitor. Ketentuan tersebut dikecualikan dalam hal Pengadilan berdasarkan permintaan Pengurus telah menetapkan tanggal sita yang lebih awal. Adapun apabila Debitor disandera, ketentuan Pasal 242 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menentukan bahwa Debitor pun harus dilepaskan segera setelah diucapkan putusan PKPU Tetap atau setelah putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap. Ketentuan pengguguran eksekusi sebagaimana diuraikan sebelumnya juga berlaku pula terhadap eksekusi dan sita yang telah dimulai atas benda yang tidak dibebani, sekalipun eksekusi dan sita tersebut berkenaan dengan tagihan Kreditor yang dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau dengan hak yang harus diistimewakan berkaitan dengan kekayaan tertentu berdasarkan undang-undang (Pasal 242 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). 

Dasarnya Kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, berdasarkan Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan, sepanjang memenuhi ketentuan pasal 56, 57 sampai 58 dalam undangundang tersebut. Namun, dalam hal berlakunya PKPU, Pasal 246 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menentukan bahwa hak Kreditor tersebut ditangguhkan selama periode PKPU berjalan hingga PKPU berakhir. Dengan demikian terlihat bahwa status sita dan eksekusi jaminan selama PKPU menjadi ditunda. 

3. Akibat Hukum PKPU Terhadap Kedudukan Kreditor Separatis dan Kreditor Preferen PKPU hanya berlaku bagi Kreditor konkuren. Sebagaimana uraian mengenai Pasal 244 dab 246 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU di bawah ini, PKPU tidak berlaku bagi Kreditor pemegang hak jaminan dan Kreditor dengan hak istimewa. Pasal 244 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengatur mengenai kedudukan dari tagihan-tagihan Kreditor yang dijamin dengan hak jaminan (gadai, fidusia, hak tanggungan, dan hipotek) dan tagihan-tagihan yang diistimewakan. M Pasal 244 ayat (1) menyatakan bahwa: 

“Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 246, penundaan kewajiban pembayaran utang tidak berlaku terhadap: 

a. tagihan yang dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya; 

b. tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan, atau pendidikan yang sudah harus dibayar dan Hakim Pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang sudah ada dan belum dibayar sebelum penundaan kewajiban pembayaran utang yang bukan merupakan tagihan dengan hak untuk diistimewakan; dan 

c. tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik Debitor maupun terhadap seluruh harta Debitor yang tidak tercakup pada ayat (1) huruf b.”54 

Sehubungan dengan ketentuan di atas, Pasal 246 menyatakan bahwa: 
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58 berlaku mutatis mutandis terhadap pelaksanaan hak Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dan Kreditor yang diistimewakan, dengan ketentuan bahwa penangguhan berlaku selama berlangsungnya penundaan kewajiban pembayaran utang.”

Adanya ketentuan sebagaimana disebutkan di atas, maka dapat diketahui bahwa penaguhan berlaku selama berlangsunya PKPU. Penangguhan yang berlaku selama 90 hari untuk kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, bagi PKPU bukan terbatas hanya selama 90 hari, melakinkan berlaku selama jangka waktu PKPU itu sendiri. 

Maka bagi para Kreditor dengan hak jaminan, selama masa PKPU masih berlangsung, mereka tidak dapat melakukan eksekusi hak jaminannya. Di sisi lain, Kreditor dengan tagihan yang diistimewakan tidak dapat menagih piutangnya mendahului para Kreditor lainnya. Berlakunya ketentuan Pasal 246 tersebut, maka ketentuan Pasal 244 ayat (1) pun menjadi tidak ada artinya bagi Kreditor separatis dan Kreditor preferen karena selama masa berlakunya PKPU itu para Kreditor tersebut tidak dapat melaksanakan haknya. Adapun dalam hal kekayaan yang diagunkan dengan hak gadai, hak tanggungan dan hak agunan atas kebendaan lainnya tidak mencukupi untuk membayar tagihan, maka para Kreditor yang dijamin dengan agunan tersebut mendapatkan hak sebagai Kreditor konkuren, termasuk mendapatkan hak untuk mengeluarkan suara selama PKPU.

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa adanya PKPU menimbulkan akibat hukum terhadap Kreditor preferen dan Kreditor separatis, yakni status hukum mereka selama periode tersebut menjadi sama saja dengan status para Kreditor konkuren, khususnya dalam hal melaksanakan eksekusi jaminan maupun penagihan piutang. Selain itu, dalam hal harta yang menjadi agunan tidak cukup untuk melunasi tagihan yang ada, maka Kreditor separatis tersebut pun beralih statusnya menjadi Kreditor konkuren untuk bersama-sama melakukan sita umum atas harta kekayan Debitor yang tersisa yang tidak dibebani dengan hak jaminan apapun. 

4. Akibat Hukum PKPU Terhadap Utang Debitor 
Selama masa PKPU berlangsung, Debitor tidak dapat dipaksa untuk membayar utang-utangnya sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 242 jo. 245 

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Pasal 245 tersebut menyatakan bawa: 
“Pembayaran semua utang, selain yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 yang sudah ada sebelum diberikannya penundaan kewajiban pembayaran utang selama berlangsungnya penundaan kewajiban pembayaran utang, tidak boleh dilakukan, kecuali pembayaran utang tersebut dilakukan kepada semua Kreditor, menurut perimbangan piutang masing-masing, tanpa mengurangi berlakunya juga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 ayat (3).”

Adapun mengenai tagihan-tagihan yang ditujukan kepada Debitor terkait utang yang ditangguhkan pelunasannya itu, apabila dianggap perlu maka dapat diselesaikan dengan cara: 

1. Diberlakukan sebagai suatu tagihan dengan syarat tangguh, artinya tagihan tersebut dimasukkan dalam daftar yang memuat: 

a. Nama dan tempat tinggal para Kreditor 
b. Jumlah piutang masing-masing beserta penjelasannya 
c. Status piutang tersebut apakah diakui atau dibantah 

2. Diberlakukan sebagai piutang yang dapat ditagih pada waktu yang tidak dipastikan atau yang memberikan hak atas tunjangan berkala dan dimasukkan dalam daftar dengan nilai pada saat PKPU itu mulai berlaku 

3. Diberlakukan sebagai piutang baru yang dapat ditagih setahun kemudian sejak PKPU berlaku, akan diberlakukan seolah-olah dapat ditagih pada saat tersebut.

Lebih lanjut, diatur bahwa terhadap pihak-pihak yang mempunyai utang dan piutang kepada Debitor berdasarkan harta kekayaan Debitor, boleh mengadakan perhitungan utang piutang untuk pengurusannya dengan memperhatikan ketentuan sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 274 dan Pasal 275, bila utang piutangnya itu telah terjadi sebelum mulai berlakunya PKPU.

Perhitungan utang piutang tersebut berarti perjumpaan utang atau kompensasi terhadap utang dan piutangnya. Hal tersebut diatur pada Pasal 247 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Mengenai perjumpaan utang piutang tersebut, Undang-undang Kepailitan dan PKPU menentukan bahwa pihak yang mengambil alih utang dari pihak ketiga kepada Debitor atau mengambil alih piutang Debitor dari pihak ketiga sebelum PKPU, tidak dapat melakukan perjumpaan utang apabila dalam pengambilalihan utang piutang tersebut ia tidak beritikad baik. Begitu pula dengan piutang atau utang yang diambil alih setelah dimulainya PKPU, tidaklah dapat diperjumpakan. Ketentuan tersebut tertuang pada Pasal 248 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. 

5. Akibat Hukum PKPU Terhadap Perjanjian Yang Mengikat Debitor 
Debitor selain mempunyai kewajiban terhadap Kreditornya dalam bentuk pemenuhan pembayaran utang akibat suatu perjanjian maupun undang-undang, juga memiliki kewajiban lain dalam memenuhi prestasi-prestasi lainnya. Kewajiban untuk memenuhi prestasi selain pembayaran utang muncul manakala Debitor mengikatkan diri dengan pihak lain melalui suatu perjanjian. PKPU selain mempengaruhi kewajiban Debitor dalam pemenuhan utang-utangnya, juga mempengaruhi pemenuhan kewajiban atas suatu prestasi tertentu yang tertuang dalam perjanjian yang mengikatnya. Hal tersebut disebabkan karena PKPU itu sendiri akan menimbulkan akibat-akibat hukum terhadap perjanjian yang mengikat Debitor.

Berikut akan diuraikan akibat hukum atas adanya PKPU terhadap perjanjian-perjanjian yang mengikat Debitor. 

a. Perjanjian dengan Klausul Arbitrase 
Asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian memengaruhi klausul perjanjian yang terkandung di dalamnya. Salah satu dampak dari adanya asas tersebut adalah para pihak memiliki kebebasan untukbmemilih bagaimana cara penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian itu. Dalam suatu perjanjian, apabila terdapat klausul arbitrase di dalamnya maka apabila terjadi persengketaan harus diselesaikan melalui suatu badan arbitrase dan dengan demikian pengadilan tidak berwenang menyelesaikan persengketaan tersebut. Namun demikian, menurut Pasal 303 

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU sepanjang menyangkut permohonan pernyataan pailit terhadap salah satu pihak yang terikat dalam perjanjian itu yang diajukan oleh mitra janjinya harus tetap diajukan kepada Pengadilan Niaga. Dengan demikian maka dalam hal terjadi PKPU, klausul arbitrase dalam suatu perjanjian tidak dapat diberlakukan karena seluruh proses yang berkenaan dengan perkara kepailitan termasuk PKPU, hanya merupakan wewenang dari Pengadilan Niaga saja. 

b. Perjanjian Timbal Balik 
Pasal 249 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengatur mengenai perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi pada saat putusan PKPU ditetapkan. Menurut Pasal 249 ayat (1), apabila pada saat putusan PKPU diucapkan terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan Debitor dapat meminta kepada Pengurus untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh Pengurus dan pihak tersebut. Ayat (2) Pasal 249 tersebut menentukan bahwa dalam hal tidak tercapai kesepakatan mengenai jangka waktu itu, Hakim Pengawas lah yang kemudian menetapkan jangka waktu tersebut. Selanjutnya ditentukan bahwa apabila dalam jangka waktu yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengurus dan pihak yang bersangkutan maupun ditetapkan atas penetapan Hakim Pengawas, ternyata Pengurus tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian tersebut, perjanjian berakhir dan pihak yang bersangkutan dapat menuntut ganti rugi sebagai Kreditor konkuren. Adapun hal Pengurus menyatakan kesanggupannya, Pengurus memberikan jaminan atas kesanggupannya untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Lebih lanjut ditentukan dalam Pasal 249 ayat (5), apabila perjanjian itu wajib dilaksanakan oleh Debitor sendiri, artinya tidak dapat diwakilkan kepada atau dipenuhi oleh orang lain, maka ketentuan Pasal 249 ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak berlaku.62

c. Perjanjian Penyerahan Barang 
Hal perjanjian timbal balik memperjanjikan penyerahan benda yang biasa diperdagangkan dengan suatu jangka waktu, dan sebelum penyerahan dilakukan telah diucapkan putusan PKPU, maka perjanjian tersebut menjadi hapus. Apabila dengan hapusnya perjanjian tersebut, pihak lawan dirugikan, ia boleh mengajukan diri sebagai Kreditor konkuren untuk mendapatkan ganti rugi. Hal tersebut diatur dalam Pasal 250 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Namun sebaliknya, apabila penghapusan itu merugikan harta Debitor, maka pihak lawan wajib membayar kerugian tersebut. 

d. Perjanjian Sewa Menyewa 
Setelah adanya putusan PKPU, dengan persetujuan Pengurus, Debitor yang menyewa suatu benda dapat menghentikan perjanjian sewa, sepanjang syarat pemberitahuan penghentian dilakukan sebelum berakhirnya perjanjian, sebagaimana dengan adat kebiasaan setempat. Penghentian tersebut harus pula mengindahkan jangka waktu menurut perjanjian atau menurut kelaziman, dengan ketentuan bahwa jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari adalah cukup. Namun, hal Debitor telah membayar uang sewa di muka, perjanjian sewa tidak dapat dihentikan lebih awal sebelum berakhirnya jangka waktu sewa yang telah dibayar uang muka. Adapun uang sewa menjadi utang harta Debitor semenjak hari putusan PKPU Sementara diucapkan. Ketentuan mengenai akibat hukum yang ditimbulkan oleh PKPU terhadap perjanjian sewa menyewa ini diatur dalam Pasal 251 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.

e. Perjanjian Kerja
Debitor memiliki hak untuk memutuskan hubungan kerja dengan karyawannya setelah putusan PKPU Sementara diucapkan, dengan tetap mengindahkan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 240 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Pemutusan hubungan kerja itu pun harus tetap mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat puluh lima) hari sebelumnya. Lebih lanjut ditentukan bahwa sejak mulai berlakunya PKPU Sementara maka gaji dan biaya lain yang timbul dalam hubungan kerja tersebut menjadi utang harta Debitor. Ketentuan mengenai perjanjian kerja setelah adanya PKPU tersebut diatur Pasal 252 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.

No comments:

Post a Comment