Persyaratan pengajuan PKPU oleh PT sebagai debitor

Persyaratan yang paling utama dalam hal pengajuan permohonan PKPU sebagaimana tercantum dalam pasal 222 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU adalah Debitor tersebut memiliki lebih dari 1 (satu) Kreditor. Pengajuan permohonan PKPU itu sendiri dapat dilakukan oleh Debitor maupun Kreditor. Hal ini merupakan perubahan yang terjadi pada peraturan perundang-undangan kepailitan yang baru, di mana pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 pada Pasal 213 dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan permohonan PKPU adalah Debitor. Syarat bagi Kreditor untuk dapat mengajukan PKPU itu sendiri, menurut Pasal 222 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU adalah apabila Kreditor tersebut memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Sedangkan bagi Debitor untuk dapat mengajukan PKPU bukan hanya setelah tidak dapat melanjutkan pembayaran utang-utangnya, Tetapi juga apabila Debitor memperkirakan tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya itu ketika nantinya utang-utang itu jatuh waktu dan dapat ditagih seperti yang tertuan Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Maka apabila isi dari Pasal 222 ayat (2) dan ayat (3) disimak dengan baik, maka terlihat bahwa terdapat perbedaan mengenai syarat dapat diajukannya PKPU oleh Debitor dan oleh Kreditor. 

Adapun terhadap Debitor yang merupakan Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan 36 Pasal 213 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 menyatakan bahwa “Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud Pasal 212 harus diajukan Debitor kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dengan ditandatangani olehnya dan oleh penasihat hukumnya, dan disertai daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93, beserta surat-surat bukti selayaknya.” 

Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, dan  Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik terdapat  persyaratan khusus perihal pihak yang dapat mengajukan permohonan PKPU. 

Dalam hal ini, pihak yang dapat mengajukan permohonan PKPU atas lembaga-lembaga tersebut adalah sama dengan pihak yang mengajukan permohonan pailit terhadap lembaga itu. Pasal 223 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU secara rinci menyatakan bahwa: 

“Dalam hal Debitor adalah Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik maka yang dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). 

Debitor yang merupakan sebuah bank, pengajuan permohonan PKPU harus dilakukan oleh Bank Indonesia. Adapun dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, pihak yang berwenang untuk mengajukan permohonan PKPU adalah Badan Pengawas Pasar Modal. Sedangkan dalam hal  Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

Dasarnya Pasal 224 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU memuat ketentuan mengenai persyaratan administratif pengajuan permohonan PKPU, baik 38 Indonesia, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-Undang No.34 tahun 2007, LN No.131 Tahun 2004, TLN No. 4443 , Pasal. 223. bagi pemohon yang merupakan Debitor itu sendiri maupun pemohon yang merupakan Kreditor. Pasal 224 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa dalam hal pengajuan permohonan PKPU yang dilakukan oleh Debitor maupun Kreditor, permohonan tersebut haruslah pula ditandatangani oleh kuasa hukumnya (advokat). Advokat memegang peranan penting dalam membantu pihak-pihak yang hendak mengajukan permohonan PKPU. Adapun ketentuan pasal tersebut berbunyi sebagai berikut ”Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya”.

Pengajuan permohonan PKPU sebagaimana disebutkan sebelumnya pun harus dilakukan dengan mengindahkan ketentuan yang terdapat pada Pasal 3 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Dengan demikian maka, selain harus ditandatangani oleh advokat dari pemohon, pengajuan permohonan PKPU harus ditujukan kepada Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor (Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Adapun apabila Debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, maka Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit maupun PKPU adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor, sehingga dengan demikian pengajuan permohonan PKPU harus ditujukan kepada Pengadian Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat hukum terakhir Debitor (Pasal 3 ayat (2) 

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Debitor yang merupakan persero suatu firma, maka pengajuan permohonan PKPU harus ditujukan kepada Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut (Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Namun, apabila Debitor tidak berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia, pengajuan permohonan PKPU dapat ditujukan kepada Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 3 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Guna mengetahui kedudukan dari suatu badan hukum itu sendiri dalam hal penentuan Pengadilan Niaga mana yang memiliki kompetensi relatif maka pemohon dapat mengacu pada keterangan yang terdapat dalam anggaran dasar terbaru dari badan hukum tersebut.

Lebih lanjut diatur bahwa apabila permohonan tersebut diajukan oleh Debitor maka permohonan PKPU itu harus disertai dengan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya (Pasal 224 ayat (2) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). Adapun terhadap permohonan PKPU yang diajukan oleh seorang Kreditor, maka daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya itu diserahkan oleh Debitor pada saat persidangan. Agar Debitor dapat menyerahkan daftar sebagaimana yang telah disebutkan maka dalam hal pemohon PKPU adalah Kreditor, Pengadilan akan memanggil Debitor melalui juru sita dengan surat kilat 41 Suyatno, Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Sebagai Upaya Mencegah Kepailitan. (Jakarta: Kencana Media Prenada Group, 2012, hlm : 102 tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang (Pasal 224 ayat (3) jo. ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU). 

Bagi Debitor yang merupakan sebuah Perseroan Terbatas, maka permohonan PKPU atas prakarsanya sendiri hanya dapat diajukan setelah mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham, dengan kuorum kehadiran dan sahnya keputusan sama dengan yang diperlukan untuk mengajukan permohonan pailit. Hal tersebut dinyatakan dalam bagian Penjelasan dari Pasal 224 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Adapun berdasarkan Pasal 89 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas diatur bahwa permohonan agar suatu PT dinyatakan pailit harus dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS dengan kuorum kehadiran adalah paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit ¾ (tiga per empat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan. Hal kuorum tersebut tidak terpenuhi maka dapat diadakan RUPS kedua. RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh paling sedikit ¾ (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.

Putusan dari permohonan PKPU itu sendiri memiliki sifat yang didahulukan daripada permohonan pernyataan pailit. Maksud dari hal tersebut 42 Elijana. PKPU dan Akor: Dalam Rangkuman Lokakarya Terbatas Hukum Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya dengan Tema Penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan adalah manakala terdapat permohonan pailit dan PKPU terhadap Debitor yang sama dan dalam satu waktu, maka permohonan PKPU haruslah diputus terlebih dahulu. Hal tersebut merupakan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 229 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Agar permohonan PKPU dapat diputus terlebih dahulu maka terdapat persyaratan lanjutan mengenai pengajuan permohonan PKPU yang telah didahului dengan pengajuan permohonan pailit kepada Debitor yang bersangkutan, yakni harus diajukan pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit. Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 229 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyatakan bahwa: Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit yang diajukan terhadap Debitor, agar dapat diputus terlebih dahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib diajukan pada sidang pertama pemeriksaan permohonan pernyataan pailit.

Syarat admnistratif dari pengajuan permohonan PKPU yang diajukan setelah adanya permohonan pernyataan pailit adalah permohonan PKPU tersebut harus diajukan paling lambat pada sidang pertama pemeriksaan perkara pailit yang sedang berjalan itu.

No comments:

Post a Comment