BI rate atau suku bunga Bank Indonesia merupakan

BI Rate 
BI rate atau suku bunga Bank Indonesia, merupakan tingkat suku bunga untuk satu tahun yang ditetapkan oleh BI sebagai patokan bagi suku bunga pinjaman maupun simpanan bagi bank dan atau lembaga-lembaga keuangan di seluruh Indonesia. Patokan ini hanya bersifat rujukan dan bukan merupakan peraturan, sehingga tidak mengikat ataupun memaksa. Jadi para bank boleh saja menaikkan bunga pinjaman kepada orang yang mengajukan kredit dengan alasan BI rate naik, namun disisi lain bunga deposito atau tabungan bagi para nasabahnya malah tidak naik sama sekali. 

Sementara bagi BI sendiri, BI rate adalah suku bunga bagi Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang disalurkan ke bank-bank. Selain BI rate, BI juga memiliki beberapa instrumen lainnya yang juga bertujuan untuk menekan pertumbuhan inflasi. Misalnya sukuk, obligasi ritel Indonesia, surat utang negara, dll. Pada  dasarnya semuanya menggunakan prinsip yang sama, yaitu menyerap dana sebesar-besarnya dari masyarakat sehingga jumlah uang cash yang beredar di masyarakat jadi berkurang. Penyebab tingginya inflasi karena jumlah uang yang beredar di masyarakat kelewat banyak. 

Ketika jumlah uang cash yang beredar di masyarakat berkurang, pertumbuhan inflasi memang akan tertekan. Namun disisi lain juga beresiko menekan pertumbuhan ekonomi. Jika para bank enggan memberi pinjaman modal ke pengusaha karena mereka lebih suka simpan uangnya di BI, maka para pengusaha tentunya akan kesulitan mengembangkan usahanya, dan pada akhirnya akan menekan pertumbuhan eknomi secara keseluruhan. Karena itulah, jika kemudian tingkat inflasi telah terkendali, maka BI bisa menurunkan kembali BI rate-nya, agar dana yang tadinya diendapkan bisa kembali dikucurkan ke masyarakat, untuk menumbuhkan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. 

Ketika inflasi mulai naik tidak terkendali, maka efeknya adalah biaya operasional para perusahaan yang terdaftar di BEI menjadi membengkak, karena naiknya harga bahan baku, gaji karyawan, dll. Akibatnya, laba bersih para emiten dikhawatirkan akan turun. Alhasil, harga sahamnya pun turun. Dan jika hal ini terjadi pada banyak saham, maka IHSG secara keseluruhan juga akan turun. Jadi ketika BI rate dinaikkan dan harapannya inflasi akan terkendali, maka IHSG juga bisa bangkit kembali. 

Namun, naiknya BI rate tidak akan serta merta menguatkan IHSG, karena yang jadi konsern investor bukanlah BI rate-nya, melainkan tingkat inflasi. Dalam jangka pendek, naiknya BI rate bahkan justru berpotensi semakin melemahkan IHSG. Kenapa? Karena dengan naiknya BI rate, maka suku bunga di deposito, sukuk, dll biasanya (meski gak selalu) juga akan naik. 

Inflasi 
Membicarakan inflasi, sudah tentu tidak terlepas dari teori inflasi konvensional. Teori Inflasi konvensional terlebih dahulu kita pelajari sebelum kita mempelajari teori inflasi Islam, walaupun dilihat dari sejarah, Teori inflasi Islam bisa saja sudah ada sebelum teori Inflasi konvensional diperkenalkan oleh ahli-ahli ekonomi barat. Jadi disini penulis juga akan membahas tentang teori Inflasi konvensional dan teori inflasi dalam Islam. 

Inflasi seringkali berbentuk kenaikan tingkat harga secara gradual daripada ledakan kekacauan ekonomi. Di Eropa, inflasi terjadi karena revolusi harga yang terjadi sepanjang beberapa abad, Kenaikan harga sangat cepat pada beberapa bahan-bahan mentah terutama makanan. Kenaikan terjadi sampai 700 % selama 170 tahun atau 1,2 % pertahun sementara gaji hanya naik setengahnya, sehingga masyarakat mengalami goncangan akibat tekanan inflasi. Apa yang menyebabkan inflasi terjadi, tidak ada sebab utama yang dapat disalahkan. Semua adalah akibat gabungan dari penurunan produksi pertanian, pajak yang berlebihan, depopulasi, manipulasi pasar, biaya tenaga kerja yang tinggi, pengangguran, kemewahan yang berlebihan, dan sebab-sebab yang lainnya, seperti perang yang berkepanjangan, embargo, dan pemogokan kerja (Adiwarman Karim, 2007). 

Inflasi dan BI Rate 
Inflasi berarti kenaikan harga barang secara umum. Lembaga yang menghitung besar kecilnya tingkat inflasi di Indonesia adalah BPS (Biro Pusat Statistik). Sementara BI Rate (Bank Indonesia Rate) adalah tingkat suku bunga yang dijadikan sebagai salah satu acuan dalam menetapkan besar kecilnya tingkat deposito dan persentase bunga pinjaman. Lembaga yang berwenang dalam menetapkan besar kecilnya BI rate adalah Bank Indonesia (BI). 

Pada saat tingkat inflasi terlalu tinggi, Bank Indonesia akan menaikkan BI Rate. Secara teoritis, kenaikan BI rate akan menyebabkan bunga pinjaman bank menjadi meningkat. Akibatnya kegiatan produksi akan berkurang karena semakin mahal dan terjadi permintaan terhadap barang. Karena permintaan semakin kecil, maka harga barang akan turun. Hal yang sebaliknya berlaku ketika inflasi terlalu rendah dan suku bunga diturunkan. Biaya produksi akan semakin murah menyebabkan kegiatan produk semakin bertambah. Kenaikan produksi akan memicu kenaikan permintaan barang dan pada akhirnya menyebabkan harga barang menjadi naik (terjadi inflasi). 

Dalam kaitannya dengan investasi, pada saat suku bunga dinaikkan, orang akan memilih alternatif deposito yang memberikan bunga lebih tinggi. Akibatnya instrumen saham dan obligasi dijual sehingga menyebabkan harga saham, obligasi dan reksa dana turun. Sebaliknya pada saat suku bunga diturunkan, investor akan mencari alternatif yang memberikan hasil investasi lebih tinggi dibandingkan deposito yaitu saham dan obligasi. Akibatnya terjadi permintaan yang besar pada saham dan obligasi yang menyebabkan harga saham, obligasi dan reksa dana naik. 

Pertimbangan dalam memutuskan tingkat BI Rate 
Perlu diketahui bahwa BI rate bukan satu-satunya alat bagi Bank Indonesia dalam mengendalikan tingkat inflasi. Selain itu, pertimbangan besar kecilnya BI rate juga bukan hanya didasarkan pada tingkat inflasi semata. Ada faktor-faktor lain yang menentukan seperti: 

· Kestabilan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Tingkat BI rate yang tinggi akan menyebabkan dana asing mengalir ke Indonesia dan sebaliknya tingkat BI rate yang rendah akan menyebabkan dana asing keluar dari Indonesia. 

· Selisih dengan suku bunga AS antara tingkat suku bunga di Indonesia dengan tingkat suku bunga (Fed Fund Rate) di Amerika. Semakin besar selisihnya, maka semakin menarik pula negara Indonesia menjadi negara tujuan investasi. Dengan kata lain, apabila pemerintah AS menaikkan tingkat suku bunga sementara suku bunga Indonesia masih tetap, maka hal tersebut akan mengurangi daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan investasi. 

· Peringkat Surat Hutang Indonesia. Peringkat surat hutang menyatakan kualitas kemampuan suatu perusahaan / negara dalam melunasi kewajibannya. Negara yang memiliki peringkat hutang yang lebih baik dapat memberikan tingkat bunga yang lebih rendah dibandingkan negara dengan peringkat hutang yang lebih rendah. Oleh karena itu, penurunan spread dengan fed fund rate belum tentu berdampak negatif asal diikuti dengan peningkatan peringkat surat hutang Indonesia. 

· Kondisi perekonomian negara yang ditentukan oleh indikator seperti GDP (Gross Domestic Product) dan Cadangan Devisa. Kedua indikator tersebut bisa diibaratkan sebagai penghasilan dan tabungan bagi suatu negara. Idealnya suatu negara yang sehat memiliki penghasilan yang terus bertambah (pertumbuhan GDP positif), hutang yang tidak terlalu banyak (rasio hutang terhadap GDP yang kecil), dan punya simpanan untuk kondisi ketidakpastian di masa mendatang (cadangan devisa yang banyak). Hal di atas akan menjadi pertimbangan positif saat penilaian terhadap peringkat surat hutang Indonesia dilakukan. 

· Faktor tidak tetap adalah faktor yang dapat mempengaruhi keputusan Bank Indonesia dalam penetapan BI rate namun sifatnya tidak permanen dan berubah sewaktu-waktu. Contoh, lonjakan harga minyak yang signifikan, kondisi ekonomi global, atau yang sekarang sedang menjadi perhatian seperti perkembangan hutang Eropa, Perkembangan China dan kondisi US, dan faktor2 lainnya yang bisa muncul sewaktu-waktu. 

Faktor inilah yang paling tricky, selain tidak jelas apa hubungannya terhadap keputusan BI Rate, efeknya juga bisa langsung ke harga saham, obligasi dan reksa dana. Terkadang logika dan hubungan antara kejadian tersebut dengan Indonesia hampir tidak ada, namun seolah-olah hal tersebut menjadi faktor utama yang menggerakan harga di pasar. Umumnya faktor ini yang menjadi perhatian investor dan analisa dalam meramalkan pergerakan harga dalam jangka waktu dekat. 

Berdasarkan bagan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa data makro ekonomi yang menjadi pertimbangan utama dalam berinvestasi adalah BI Rate dan Inflasi. Dalam proses perjalanannya, penetapan besar kecilnya BI rate juga akan mendapat pengaruh-pengaruh baik dari faktor eksternal maupun internal. Hal yang harus dipahami oleh investor adalah bahwa Kenaikan BI rate dan Inflasi akan berdampak negatif bagi investasi dan sebaliknya penurunan BI rate dan inflasi akan berdampak positif terhadap investasi. 

Meski demikian, efek Inflasi dan BI Rate terhadap inflasi menurut penelitian kami lebih memiliki pengaruh ketika bergerak sedang naik atau sedang turun. Jika kondisinya flat, kondisi cenderung lebih sulit untuk dianalisis karena perhatian investor terpaku pada faktor-faktor tidak tetap (seperti yang dijelaskan di atas) yang berubah setiap hari. Meski demikan, dalam prakteknya sangat mungkin sekali investor dalam jangka pendek akan menemui kondisi investasi yang bertolak belakang dengan kondisi BI rate dan Inflasi. Jadi memang faktor ini bukan satu-satunya hal yang menyebabkan naik turunnya harga instrumen investasi namun dalam pandangan kami merupakan faktor penting yang menjadi penggerak harga instrumen investasi.

No comments:

Post a Comment