Teori Fungsionalisme Taraf Menengah

Doyle Paul Johnson (1986) menjelaskan karya Merton secara keseluruhan tidak memberikan suatu analisa yang abstrak mengenai fungsi atau disfungsi, baik yang bersifat laten maupun yang bersifat manifest. Namun sebaliknya, karya Merton memperlihatkan pilihannya terhadap teori taraf-menengah yang terkenal yakni “Social Theory and Social Structure”, yang berisikan serangkaian teori taraf-menengah dengan macam–macam judul. Akan tetapi teori-teori ini memiliki satuannya tersendiri, tanpa memperluas penggunaan terminologi analisa fungsional dan tanpa menghubungkannya dengan yang lainnya secara jelas. 

a. Kepribadian Birokratis 
Doyle Paul Johnson (1986) kepribadian birokratis merupakan sebuah contoh yang tepat mengenai tipe konsekuensi yang bersifat tidak produktif atau disfungsional yang diberikan Merton dalam analisanya mengenai kepribadian birokratis (bureaucratic personality). Seperti para ahli sosiologi sejak Weber sering menekankan, organisasi birokratis sangat menyesuaikan diri dengan peraturan dan prosedur yang dibuat secara formal. Hal ini perlu (atau fungsional) untuk menjamin keberlangsungan kepercayaan dan koordinasi dalam mencapai tujuan organisasi itu. Namun, Merton mengemukakan bahwa satu konsekuensi disfungsional dari kepercayaan yang terlampau besar terhadap peraturan adalah bahwa kaum birokrat itu akhirnya melihat kepatuhan terhadap peraturan sebagai tujuan dan akibatnya mereka tidak mampu untuk menjawab tantangan situasi baru secara fleksibel.

Dalam beberapa hal, akibat dari ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri atau mengubah (bahkan mengabaikan) peraturan supaya cocok dengan situasi baru adalah bahwa pencapaian tujuan utama dari organisasi itu menjadi terhalang. Karena itu, di sini terdapat suatu situasi dimana suatu pola yang sudah melembaga memiliki konsekuensi fungsional dan disfungsional terhadap sistem yang sama, yang tergantung pada tipe situasi yang sedang dihadapi. Namun, sering kali para anggota suatu organisasi birokratis menjadi merasa menderita karena kekakuan birokratis itu sendiri. 

Teori Merton tentang kepribadian birokratis juga dapat menjadi rujukan sebagai salah satu pisau analisis dalam melihat keterkaitan dari pengaruh status 

Membership Group pada perusahaan kosmetik berbasis multi level marketing terhadap perilaku konsumtif. Hal ini dikarenakan pada dasarnya aturan – aturan serta segala ketentuan dan kewajiban yang diberikan kepada setiap member merupakan salah satu cara yang bersifat baik dan tepat dalam upaya menjaga keberlangsungan untuk mencapai tujuan serta keuntungan bersama. 

Namun dalam proses pengimplementasiannya, tidak jarang terjadi disfungsional dari aturan itu sendiri yang dikarenakan oleh kepatuhan yang terlampau besar dan kekakuan atas aturan dan kewajiban tersebut sehingga dapat berubah menjadi fungsi laten yang tidak baik. Hingga pada akhirnya member Oriflame menjadi terfokus pada setiap aturan untuk dijalankan dan dipatuhi dengan baik, sehingga mengabaikan dan mengesampingkan keuntungan dan tujuan bersama yang telah menjadi orientasi awal mereka, maka pergeseran orientasi itulah yang dapat merujuk pada fungsi manifest. Hal ini dapat tergambar dari beberapa tindakan para konsultan Oriflame yang mencerminkan prilaku konsumtif untuk menaiki jenjang karir (Success Plan) yang disediakan oleh pihak manajemen Oriflame. Dimana secara tidak sadar mereka terkungkung dengan aturan yang ada dan menjalankan bisnis tanpa rasionalitas, tanpa memikirkan nilai guna dan manfaat bagi diri mereka sendiri.

Penelitian Terdahulu 
Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini ialah penelitian dari  Puji Astuti (2008) tentang “Hubungan Antara Sikap Remaja Putri Terhadap Produk Multi Level Marketing dengan Perilaku Konsumtif dalam Pembelian Barang Kosmetik” Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Dimana dalam penelitian ini dibahas tentang fenomena yang berkembang dikalangan remaja menunjukkan bahwa remaja ingin selalu berpenampilan yang dapat menarik perhatian orang lain terutama teman sebaya. Pada remaja putri, mereka biasanya menggunakan kosmetik untuk menambah penampilan daya tarik fisiknya agar terlihat cantik. Sehingga remaja kebanyakkan membelanjakan uangnya atau berperilaku konsumtif untuk keperluan tersebut. Salah satu kosmetik pada saat ini dijual melalui sistem multi level marketing oleh distributornya, yaitu distribusi produk kosmetik dan pelayanannya dari mulut ke mulut berdasarkan pesanan yang secara langsung berasal dari produsen ke konsumen (Yarnell & Yarnell, 2001). 

Yang menjadi konsumennya adalah orang-orang yang spesifik atau orang yang membutuhkan produknya (Natan, 1993). Remaja putri sebagai salah satu pengkonsumsi kosmetik yang konsumtif dapat mempunyai ketertarikkan untuk membeli produk multi level marketing kosmetik. Variabel prediktornya adalah sikap terhadap produk multi level marketing, sedangkan variabel kriteriumnya adalah perilaku konsumtif terhadap barang kosmetik. Subjeknya 50 orang remaja putri, usia antara 19 sampai 22 tahun. Untuk skala sikap terhadap produk multi level marketing mengacu pada komponen-komponen sikap dari Prasetijo & Ihalauw (2005). Pada skala ini dari 40 item yang diujicobakan terdapat 11 item yang dinyatakan gugur, sedangkan item yang valid berjumlah 29 item. Adapun hasil uji reliabel menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,887. Untuk skala perilaku konsumtif terhadap barang kosmetik mengacu pada aspek-aspek perilaku konsumtif dari Lina & Rasyid (1997). Pada skala ini dari 43 item yang diujicobakan terdapat 23 item yang dinyatakan gugur, sedangkan item yang valid berjumlah 20 item. Adapun hasil uji reliabel menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,828. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan teknik korelasi product moment, diketahui bahwa hasil koefisien korelasi sebesar - 0,167 dengan taraf signifikansi 0,245 (p > 0,05). Dari hasil tersebut berarti hipotesis ditolak, yaitu tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap terhadap produk multi level marketing dengan perilaku konsumtif terhadap barang kosmetik pada remaja putri. 

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Nur Fitriyani, Prasetyo Budi Widodo, dan Nailul Fauziah (2013) yang berjudul “Hubungan Antara Konformitas Dengan Perilaku Konsumtif Pada Mahasiswa Di Genuk Indah Semarang” Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Dimana dalam penelitian tersebut membahas perihal salah satu dampak dari perkembangan di Indonesia membawa gaya hidup bermewah – mewahan yang mendorong munculnya perilaku konsumtif. 

Mahasiswa sebagai remaja juga terpengaruh. Perilaku konsumtif adalah perilaku membeli yang didasarkan pada keinginan irasional dan eksesif dan bukan kebutuhan. Perilaku konsumtif dipengaruhi oleh motivasi, harga diri, obervasi, proses belajar, kepribadian, konsep diri, gaya hidup, budaya, kelas sosial, dan referensi kelompok serta keluarga. Mahasiswa menjadikan kelompok sebagai referensi sebagai usahanya untuk berkonformitas dengan kelompok tersebut. Konformitas adalah perilaku menyesuaikan diri dengan kelompok agar dapat diterima. Penelitian ini melibatkan 130 subjek yang tinggal di Genuk Indah yang diambil dengan teknik sampling random proporsional. Pengumpulan data menggunakan dua skala yaitu Skala konformitas dan Skala perilaku konsumtif. Analisis regresi dipakai untuk mengevaluasi data dan menghasilkan rxy = 0.333 dengan p = 0.000 (p <0.05). Hasil ini menunjukkan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara konformitas dengan perilaku konsumtif dengan pengaruh 10.9% dari konformitas terhadap perilaku konsumtif. 

Dari beberapa penelitian terdahulu tersebut, peneliti lebih memfokuskan perhatian pada pengaruh status Membership Group terhadap perilaku konsumtif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lebih luas dari keterikatan status keanggotaan dengan tindakan perilaku konsumen. Penelitian ini akan dikaji dengan sudut pandang sosiologis menggunakan perspektif struktural fungsional. Dengan begitu penelitian ini akan membahas tentang fungsi laten dan manifes dari setiap aturan yang melekat pada status Membership Group dan mengungkap adakah hubungannya dengan perilaku konsumtif yang dicerminkan oleh setiap konsultan Oriflame dalam jaringan Imaginer.

No comments:

Post a Comment