Pengertian Kualitas Pelayanan

Pengertian Kualitas
Membicarakan tentang pengertian atau definisi kualitas dapat berbeda makna bagi setiap orang, karena kualitas memiliki banyak kriteria dan sangat tergantung pada konteksnya. Banyak pakar dibidang kualitas yang mencoba untuk mendefinisikan kualitas berdasarkan sudut pandangnya masing-masing.
Beberapa diantaranya yang paling populer adalah yang dikembangkan oleh tiga pakar kualitas tingkat internasional, yaitu mengacu pada pendapat W.Edwards Deming, Philip B. Crosby dan Joseph M.Juran, (dalam Zulian Yamit, 2005 : 7). Deming (dalam Zulian Yamit, 2005 : 7) mendefinisikan kualitas adalah apapun yang menjadi kebutuhan dan keinginan konsumen. Crosby (dalam Zulian Yamit, 2005 : 7) mempersepsikan kualitas sebagai nihil cacat, kesempurnaan dan kesesuaian terhadap persyaratan. Juran (dalam Zulian Yamit, 2005 : 7) mendefinisikan kualitas sebagai kesesuaian terhadap spesifikasi, jika dilihat dari sudut pandang produsen. Sedangkan secara obyektif kualitas menurut Juran, (dalam Zulian Yamit, 1996 : 337 ) adalah suatu standar khusus dimana kemampuannya (availability), kinerja (performance), keandalannya (reliability), kemudahan pemeliharaan (maintainability) dan karakteristiknya dapat diukur.

Goetsch Davis, (dalam Zulian Yamit, 2005 : 8 ) membuat definisi kualitas yang lebih luas cakupannya, yaitu kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan
lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Pendekatan yang digunakan Goetsch Davis ini menegaskan bahwa kualitas bukan hanya menekankan pada aspek hasil akhir, yaitu produk dan jasa tetapi juga menyangkut kualitas manusia, kualitas lingkungan. Sangatlah mustahil menghasilkan produk dan jasa yang berkualitas tanpa melalui manusia dan proses yang berkualitas.
Menurut Gaspersz ( 2002 : 181 ) mendefinisikan kualitas totalitas dari karakteristik suatu produk (barang dan atau jasa) yang menunjang kemampuan untuk memenuhi kebutuhan yang dispesifikasikan. Kualitas seringkali diartikan sebagai segala sesuatu yang memuaskan pelanggan atau kesesuaian terhadap persyaratan atau kebutuhan. 

Perusahaan jasa dan pelayanan lebih menekankan pada kualitas proses, karena konsumen biasanya terlibat langsung dalam proses tersebut. Sedangkan perusahaan yang menghasilkan produk lebih menekankan pada
hasil, karena konsumen umumnya tidak terlibat secara langsung dalam prosesnya. Untuk itu diperlukan sistem manajemen kualitas yang dapat memberikan jaminan kepada pihak konsumen bahwa produk tersebut
dihasilkan oleh proses yang berkualitas.

David Garvin, (dalam Zulian Yamit, 2005: 9-10 ) mengidentifikasikan lima pendekatan perspektif kualitas yang dapat digunakan oleh para praktisi bisnis, yaitu :
a. Transcendental Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah sesuatu yang dapat dirasakan, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalkan maupun diukur. Perspektif ini umumnya diterapkan dalam karya seni seperti musik, seni tari, seni drama dan seni rupa. Untuk produk dan jasa pelayanan, perusahaan dapat mempromosikan dengan menggunakan pernyataan-pernyataan seperti kelembutan dan kehalusan kulit (sabun mandi), kecantikan wajah (kosmetik), pelayanan prima (bank) dan tempat berbelanja yang nyaman (mall). Definisi seperti ini sangat sulit untuk dijadikan sebagai dasar perencanaan dalam manajemen kualitas.
b. Product-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah suatu karakteristik atau atribut yang dapat diukur. Perbedaan kualitas mencerminkan adanya perbedaan atribut yang dimiliki produk secara objektif, tetapi pendekatan ini dapat
menjelaskan perbedaan dalam selera dan preferensi individual.

c. User-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada orang yang memandangnya, dan produk yang paling memuaskan preferensi seseorang atau cocok dengan selera (fitnes for used) merupakan produk yang berkualitas paling tinggi. Pandangan yang subjektif ini mengakibatkan konsumen yang berbeda memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda pula, sehingga kualitas bagi seseorang adalah kepuasan maksimum yang dapat dirasakannya.
d. Manufacturing-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah bersifat supply-based atau dari sudut pandang produsen yang mendefinisikan kualitas sebagai sesuatu yang sesuai dengan persyaratannya (conformance quality) dan prosedur. Pendekatan ini berfokus pada kesesuaian spesifikasi yang ditetapkan perusahaan secara internal. Oleh karena itu, yang menentukan kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, dan bukan konsumen yang menggunakannya.
e. Value-based Approach
Kualitas dalam pendekatan ini adalah memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Kualitas didefinisikan sebagai ”affordable excellence”. Oleh karena itu kualitas dalam pandangan ini bersifat relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk yang paling bernilai. Produk yang paling bernilai adalah produk yang paling tepat dibeli.
Meskipun sulit mendefinisikan kualitas dengan tepat dan tidak ada definisi kualitas yang dapat diterima secara universal, dari perspektif David Garvin tersebut dapat bermanfaat dalam mengatasi konflik-konflik yang sering timbul diantara para manajer dalam departemen fungsional yang berbeda. Misalnya, departemen pemasaran lebih menekankan pada aspek keistimewaan, pelayanan, dan fokus pada pelanggan. Departemen
perekayasaan lebih menekankan pada aspek spesifikasi dan pada pendekatan product-based. Sedangkan departemen produksi lebih menekankan pada aspek spesifikasi dan proses. Menghadapi konflik seperti ini sebaiknya pihak perusahaan menggunakan perpaduan antara beberapa perspektif kualitas dan secara aktif selalu melakukan perbaikan yang berkelanjutan atau melakukan perbaikan secara terus menerus.
2. Dimensi Kualitas
Menurut Nursya’bani Purnama ( 2006: 15-16 ) menentukan kualitas produk harus dibedakan antara produk manufaktur atau barang (goods) dengan produk layanan (service) karena keduanya memilki banyak perbedaan. Menyediakan produk layanan (jasa) berbeda dengan menghasilkan produk manufaktur dalam beberapa cara. Perbedaan tersebut memiliki implikasi penting dalam manajemen kualitas. Perbedaan antara
produk manufaktur dengan produk layanan adalah :
  • Kebutuhan konsumen dan standar kinerja sering kali sulit diidentifikasi dan diukur, sebab masing-masing konsumen mendefinisikan kualitas sesuai keinginan mereka dan berbeda satu sama lain.
  • Produksi layanan memerlukan tingkatan ”customization atau individual customer ” yang lebih tinggi dibanding manufaktur. Dalam manufaktur sasarannya adalah keseragaman. Dokter, ahli hukum, personal penjualan asuransi, dan pelayanan restoran, harus menyesuaikan layanan mereka terhadap konsumen individual.
c. Output sistem layanan tidak terwujud, sedangkan manufaktur berwujud. Kualitas produk manufaktur dapat diukur berdasar spesifikasi desain, sedangkan kualitas layanan pengukurannya subyektif menurut pandangan konsumen, dikaitkan dengan harapan dan pengalaman mereka. Produk manufaktur jika rusak dapat ditukar atau diganti, sedangkan produk layanan harus diikuti dengan permohononan maaf dan reparasi.

d. Produk layanan diproduksi dan dikonsumsi secara bersama-sama, sedangkan produk manufaktur diproduksi sebelum dikonsumsi. Produk layanan tidak bisa disimpan atau diperiksa sebelum disampaikan kepada konsumen.
e. Konsumen seringkali terlibat dalam proses layanan dan hadir ketika layanan dibentuk, sedangkan produk manufaktur dibentuk diluar keterlibatan langsung dari konsumen. Misalnya konsuman restoran layanan cepat menempatkan ordernya sendiri atau mengambil makanan sendiri, membawa makanan sendiri kemeja, dan diharapakan membersihkan meja ketika setelah makan.
f. Layanan secara umum padat tenaga kerja, sedangkan manufaktur lebih banyak padat modal. Kualitas interaksi antara produsen dan konsumen merupakan faktor vital dalam penciptaan layanan. Misalnya kualitas
layanan kesehatan tergantung interaksi pasien, perawat, dokter, dan petugas kesehatan lain. Di sini perilaku dan moral pekerja merupakan hal yang kritis dalam menyediakan kualitas layanan.

g. Banyak organisasi layanan harus menangani sangat banyak transaksi konsumen. Misalnya pada hari-hari tertentu, sebuah bank mungkin harus memproses jutaan transaksi nasabah pada berbagai kantor cabang dan
mesin bank atau barangkali Perusahaan jasa kiriman harus menangani jutaan paket kiriman diseluruh dunia.
Menurut Zeithaml, Berry dan Parasuraman, (dalam Zulian Yamit, 2005: 10) telah melakukan berbagai penelitian terhadap beberapa jenis jasa, dan berhasil mengidentifikasi lima dimensi karakteristik yang digunakan oleh para pelanggan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan. Kelima dimensi karakteristik kualitas pelayanan tersebut adalah :

6. Kehandalan (reliability), yaitu kemampuan dalam memberikan pelayanan dengan segera dan memuaskan serta sesuai dengan telah yang dijanjikan.
7. Daya tanggap (responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap. 

8. Jaminan (assurance), yaitu mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko ataupun keragu-raguan.
9. Empathy, yaitu meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, dan perhatian dengan tulus terhadap kebutuhan pelanggan.
10. Bukti langsung (tangibles), yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi.

Lebih lanjut Zeithaml, Berry dan Parasuraman, (dalam Zulian Yamit, 2005:10) membuat model kualitas pelayanan sebagai berikut:




No comments:

Post a Comment