Tinjauan Umum Tentang Surat Kuasa

Pengertian Pemberian : Kuasa Perkembangan kehidupan saat ini sudah semakin maju, kesibukan seseorangpun kian bertambah. Tidak jarang ditemukan orang yang tidak mampu menghadiri suatu urusan secara fisik, sehingga mewakilkan kepada orang lain untuk mengurus kepentingan tertentu. Agar orang yang diserahi tugas untuk menyelesaikan kepentingannya tersebut, dapat bertindak atas namanya, maka dengan suatu perjanjian, ia menyerahkan kekuasaan atau wewenangnya.

Pengertian pemberian kuasa dalam Pasal 1792 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Oleh karena pemberian kuasa adalah merupakan suatu perjanjian, maka pemberi kuasa dan penerima kuasa dapat membuat surat kuasa yang sesuai dengan kesepakatan selain yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam kesepakatan pemberian kuasa terdapat beberapa sifat pokok yaitu penerima kuasa langsung berkapasitas sebagai wakil pemberi kuasa, pemberian kuasa bersifat konsensual yaitu dibuat berdasarkan kesepakatan dan kekuatan mengikat tindakan kuasa hanya terbatas pada kewenangan yang diberikan oleh pemberi kuasa, begitu juga dalam hal tanggung jawab para pihak dalam pemberian kuasa. Dari pengertian pemberian kuasa dalam Pasal 1792 KUH Perdata tersebut maka dapat diambil kesimpulan yaitu : a) Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian; b) Untuk melakukan suatu perbuatan hukum; c) Adanya perwakilan, yaitu seseorang atas nama orang lain melakukan suatu urusan. Dengan kata lain, suatu perjanjian pemberian kuasa haruslah memenuhi ketiga unsur pokok tersebut. Jika salah satu saja dari ketiga unsur pokok tersebut tidak ada, maka perjanjian yang diadakan, bukanlah perjanjian pemberian kuasa sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 1792 KUHPerdata. Dengan demikian, maka pembedaan atas ketiga unsur pokok tersebut, hanyalah sekadar pembagian untuk memudahkan pembahasan dan bukan merupakan suatu pemisahan, karena ketiga unsur pokok tersebut adalah satu kesatuan yang utuh dan bulat.

Pemberian kuasa apabila dilihat dari sifat perjanjiannya dapat dibedakan menjadi 4, yaitu : a) Pemberian kuasa umum, adalah pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum dan meliputi semua kepentingan pemberi kuasa, diatur dalam Pasal 1795 KUHPerdata; b) Pemberian kuasa khusus, adalah pemberian kuasa hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Dalam hal ini pemberi kuasa menyebutkan apa yang harus dilakukan; c) Kuasa istimewa (agen) Diatur dalam Pasal 1796 KUHPerdata; d) Kuasa Perantara, di dalam dunia perdagangan sering disebut dengan makelar dimana pemberi kuasa memberi perintah kepada agen untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga yang pada pokoknya langsung mengikat pihak ketiga sepanjang tidak bertentangan dengan batas kewenangan yang diberikan.78 Kuasa pada dasarnya merupakan pengalihan wewenang dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Pengalihan wewenang tersebut dapat terjadi dikarenakan :
 
1. Karena tidak cakap hukum, pada dasarnya setiap orang cakap untuk melakukan suatu tindakan hukum, kecuali bagi mereka yang oleh Undang-Undang dinyatakan tidak cakap. Mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap hukum tidak dapat melakukan tindakan hukum tanpa bantuan orang lain. Contohnya : Orang yang belum dewasa dapat dibantu oleh orang tua atau wali dan mereka yang berada di bawah pengampuan dapat dibantu oleh pengampu (kurator). Batasan usia dewasa yang digunakan oleh para notaris dalam membuat suatu akta autentik adalah usia 21 (dua puluh satu) tahun; b) bertindak dalam kapasitasnya sebagai kuasa; dalam beberapa hal sering dijumpai seseorang yang bertindak bukan untuk diri sendiri ataupun bertindak untuk orang lain secara perorangan melainkan bertindak untuk badan hukum karena kapasitas dan kedudukannya dalam badan hukum tersebut. Orang-orang yang dalam kapasitas dan kedudukannya sebagai wakil atau kuasa badan hukum yang bersangkutan tidak memerlukan surat kuasa dari manapun karena sudah dicantumkan dalam anggaran dasar badan hukum tersebut maupun dalam undang-undang mengenai perwakilannya; c) Tidak memiliki kewenangan bertindak; Kewenangan bertindak seseorang dapat dilihat dari kecakapan hukumnya. Namun tidak selalu orang yang cakap hukum mempunyai kewenangan bertindak. Orang dewasa yang menurut undang-undang mempunyai kecakapan hukum belum tentu memiliki wewenang untuk bertindak mengenai suatu hal, karena kewenangan bertindak dapat berarti hak yang dimiliki seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Dalam hal lain dapat diartikan juga sebagai kekuasaan untuk bertindak. Pasal 1793 ayat 1 KUHPerdata mengatur mengenai cara pemberian kuasa, yaitu dengan: a) Akta autentik. pemberian kuasa diberikan dalam bentuk akta. Untuk tindakan hukum tertentu seperti hibah dan pemberian hipotik harus dilakukan dengan akta autentik, diatur dalam ketentuan Pasal 1171 KUHPerdsata. 

Adapun yang dimaksud dengan akta autentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat mana akta dibuat. Yang dimaksud dengan pegawai umum diatas adalah pejabat umum, yaitu selain notaris, adalah juga juru sitam pegawai catatan sipil, panitera pengadilan negeri. “dibuat oleh” berarti akta tersebut dibuat oleh pejabat umum itu sendiri, yang mengetahui sendiri adanya suatu peristiwa, sehingga kebenaran formil dan materiil dari akta itu selalu ada; b) Surat dibawah tangan. caranya dengan membuat persetujuan dalam suatu surat atas segel yang dibuatnya sendiri diluar pejabat resmi. Jadi surat kuasa yang dibuat dibawah tangan ini adalah suatu persetujuan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Pasal 1867 KUHPerdata menyatakan, “pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan autentik maupun tulisan dibawah tangan.” Tulisan dibawah tangan ini dibuat dengan tujuan untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa. 

Dalam Pasal 1874 KUHPerdata diberikan pengertian tentang surat dibawah tangan yaitu surat-surat atau tulisan-tulisan yang ditandatangani dan dibuat dengan sengaja untuk menjadi bukti dari suatu peristiwa tanpa melalui seorang pejabat umum.79 Karena surat dibawah tangan ini dibuat tanpa melalui seorang pejabat umum, maka ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1875 KUHPerdata berlaku, yaitu, “suatu tulisan dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui memberikan terhadap orang-orang yangmenandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti akta autentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan Pasal 1871 KUHPerdata untuk tulisan itu. Kekuatan surat dibawah tangan terletak pada pengakuan pihak yang membuatnya. Dalam hal tanda tangan atau tulisan dalam surat dibawah tangan disangkal, maka pihak yang mempergunakan surat tersebut harus membuktikan kebenaran dari surat dibawah tangan tersebut; c) Surat biasa, berbeda dengan surat dibawah tangan, pemberian kuasa dengan surat biasa, surat tersebut tidak perlu diatas segel. 

Di dalam surat tersebut dimuat persetujuan yang dibuat antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa untuk melakukan perbuatan hukum mengenai kuasa yang harus dilakukan; d) Secara lisan pemberian kuasa dengan lisan ini dilakukan tanpa bukti apapun. Namun dalam hal ini biasanya dilakukan antara orang yang saling mengenal dan percaya. Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian konsensual dalam arti sudah mengikat (sah) pada detik tercapainya kata sepakat antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Oleh karena itu sesuai dengan Pasal 1793 ayat (1) KUHPerdata tersebut diatas, maka pemberian kuasa dapat dilakukan secara lisan, yaitu pemberian kuasa yang dilakukan dengan diucapkan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa danselanjutnya pemberian kuasa ini diterima baik oleh penerima kuasa; e) Secara diam-diam, artinya apabila seseorang melakukan suatu tindakan atas nama orang lain dan yang bersangkutan menerimanya walaupun tidak disampaikan secara formal.

Buku ke III KUHPerdata tentang perikatan pada prinsipnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bab 1 hingga bab 4 merupakan bagian umum dan bab 5 hingga bab 18 merupakan bagian khusus. Antara bagian umum dan bagian khusus ini terdapat hubungan yang erat, yaitu asas-asas yang terdapat pada bagian umum, berlaku dan harus diberlakukan pada bagian khusus. Perjanjian pemberian kuasa yang diatur dalam Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 KUHPerdata terdapat dalam bab 16 buku ke III, sehingga merupakan bagian khusus. Hal ini berarti bahwa semua asas hukum perjanjian dari bagian umum yang terdapat dalam bab 1 sampai dengan bab 4 buku ke III KUHPerdata berlaku dan harus diberlakukan pada perjanjian pemberian kuasa. Dengan demikian, maka asas kebebasan berkontrak juga berlaku di dalam perjanjian pemberian kuasa, walaupun berlakunya disertai pembatasan, yaitu dengan mengindahkan dan memperhatikan ketentuanketentuan yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian, Pasal 1337 KUHPerdata mengenai sebab terlarang dan Pasal 1330 KUHPerdata mengenai orang-orang yang tidak cakap dalam membuat persetujuan. Di dalam Pasal 1792 KUHPerdata telah disebutkan bahwa pemberian kuasa adalah merupakan suatu persetujuan atau perjanjian. Sehubungan dengan perumusan tersebut, maka dalam perjanjian pemberian kuasa, pihak pemberi kuasa wajib memberikan wewenang dan kekuasaannya kepada pihak penerima kuasa agar untuk dan atas namanya, si penerima kuasa bertindak menyelenggarakan suatu urusan. Sedangkan penerima kuasa wajib melaksanakan urusan tersebut demu kepentingan pemberi kuasa. Oleh karena itu didalam perjanjian pemberian kuasa ini telah menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi pemberi kuasa maupun penerima kuasa sebagai berikut :

1. Kewajiban bagi penerima kuasa dinyatakan dalam Pasal 1800 KUHPerdata, “si kuasa diwajibkan, selama ia belum dibebaskan, melaksanakan kuasanya, dan ia menanggung segala biaya, kerugian dan bunga yang sekiranya dapat timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa itu. Begitu pula ia diwajibkan menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal dunia, jika dengan tidak segera menyelesaikannya dapat menimbulkan suatu kerugian.” Sedangkan kewajiban bagi pemberi kuasa dinyatakan dalam Pasal 1807 KUHPerdata, “si pemberi kuasa diwajibkan memenuhi perikatan yang diperbuat oleh si kuasa menurut kekuasaan yang ia telah berikan kepadanya. Ia tidak terikat pada apa yang diperbuat selebihnya daripada itu, selainnya sekedar ia telah menyetujuinya secara tegas atau diam-diam.” Dan selanjutnya dalam Pasal 1808 KUHPerdata, “si pemberi kuasa diwajibkan mengembalikan kepada si kuasa persekot-persekot dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh orang ini untuk melaksanakan kuasanya, begitu pula untuk membayar upahnya jika ini telah diperjanjikan. Jika si kuasa tidak melakukan sesuatu kelalaian, maka si pemberi kuasa tidak dapat meluputkan diri dari kewajiban mengembalikan persekot-persekot dan biaya-biaya serta membayar upah tersebut diatas, sekalipun urusannya tidak berhasil.”

2. Untuk melakukan suatu perbuatan hukum “menyelenggarakan suatu urusan” sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1792 KUHPerdata adalah untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Adapun perbuatan hukum yang dimaksud dalam pasal ini adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh penerima kuasa atas suatu urusan yang dibebankan atau diinginkan oleh pemberi kuasa yang diharapkan akan menghasilkan suatu akibat hukum demi kepentingan pemberi kuasa. 80 Agar supaya penerima kuasa dapat melakukan perbuatan hukum yang dimaksud, maka ia diberi kekuasaan atau wewenang oleh pemberi kuasa. Dengan kekuasaan atau wewenang yang ada pada penerima kuasa inilah, yang membuat ia berwenang melakukan perbuatan hukum untuk kepentingan dan atas nama pemberi kuasa.81 Sehingga apa yang dilakukan oleh penerima kuasa adalah merupakan tanggung jawab dari pemberi kuasa, sepanjang perbuatan yang dilakukan oleh penerima kuasa tersebut sesuai dengan kuasa yang diberikan. Oleh karena itu, segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukan si penerima kuasa, akan menjadi hak dan kewajiban dari si pemberi kuasa. Jika penerima kuasa lalai melaksanakan kewajibannya maka Pasal 1801 KUHPerdata menyatakan,” si kuasa tidak saja bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, tetapi juga tentang kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya. Namun itu tanggung jawab tentang kelalaian-kelalaian bagi seseorang yang dengan Cuma-Cuma menerima kuasa adalah tidak sebegitu berat seperti yang dapat diminta dari seseorang yang untuk itu menerima upah.” Dengan demikian penerima kuasa dapat bebas menjalankan peranannya dalam batas-batas wewenang dan kekuasaannya, sebagaimana yang telah digariskan oleh pemberi kuasa dan sudah tentu penerima kuasa tidak boleh lupa bahwa ia bertindak atas nama dan mewakili pemberi kuasa. Perbuatan hukum ini akan terus berlangsung selama pemberi kuasa belum mencabut kuasanya atau sampai saat selesainya perbuatan hukum yang dimaksud atau dapat juga dengan meninggalnya salah satu pihak. Adanya perwakilan, yaitu seseorang atas nama orang lain melakukan suatu urusan. Pada bagian akhir dari Pasal 1792 KUHPerdata dinyatakan bahwa untuk “atas namanya” menyelenggarakan suatu urusan. Maksud dari kata-kata atas nama pada pasal ini adalah mewakili yang berarti bahwa pemberi kuasa mewakilkan82 kepada penerima kuasa untuk mengurus dan melaksanakan kepentingan pemberi kuasa dan selanjutnya penerima kuasa bertindak/berbuat sebagai wakil atau mewakili pemberi kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa. Oleh karena itu penerima kuasa akan langsung berkedudukan sebagai wakil pemberi kuasa. Seandainya penerima kuasa tidak langsung berkedudukan menjadi wakil dari pemberi kuasa, maka berarti penerima kuasa tersebut hubungannya hanya terbatas dengan pemberi kuasa saja sehingga hubungan tersebut bersifat intern antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Akibatnya penerima kuasa tidak dapat bertindak kepada pihak ketiga atas nama pemberi kuasa. Sebab itulah pengertian pemberian kuasa pada pasal ini adalah penerima kuasa bertindak mewakili pemberi kuasa, yaitu penerima kuasa langsung bertindak untuk melakukan perbuatan hukum mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga. Orang yang diberi kuasa dalam melakukan perbuatan hukum itu adalah “atas nama” orang yang memberi kuasa, maka dikatakan ia mewakili pemberi kuasa. Dengan demikian apa yang dilakukan penerima kuasa adalah atas tanggungan pemberi kuasa. Segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukan penerima kuasa akan menjadi hak dan kewajiban orang yang memberi kuasa. Sehingga kalau perbuatan yang dilakukan penerima kuasa itu adalah membuat perjanjian, maka pemberi kuasa lah yang menjadi pihak dalam perjanjian tersebut.

No comments:

Post a Comment